Senin, Agustus 04, 2008

agama adalah nasihat 1

عن أبي رقية تميم بن أوس الداري رضي الله عنه, أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ» قلنا: لمن؟ قال: «لله, ولكتابه, ولرسوله, لأئمة المسلمين وعامتهم». رواه مسلم

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama itu nasihat”. Kami pun bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?”. Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”. (HR. Muslim)

Derajat Hadits:

Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, hadits no. 55 dan no. 95.

Biografi Singkat Perawi Hadits:

Perawi hadits ini, Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu adalah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari negeri Palestina, tepatnya di kota Bait al-Lakhm (Betlehem). Meninggal pada tahun 40 H. Beliau termasuk sahabat yang sedikit riwayat haditsnya, di dalam kutub as sittah (Kutub as-Sittah adalah enam buku inti yang menghimpun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, buku-buku itu adalah: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasai dan Sunan Ibn Majah) beliau hanya memiliki sembilan hadits saja, di dalam shahih muslim hanya ada satu hadits saja yang beliau riwayatkan, yaitu hadits yang akan kita bahas kali ini, yang mana dia merupakan hadits yang paling masyhur di antara hadits-hadits yang beliau riwayatkan. (Lihat: Siyar A’lam an-Nubala, (II/442-448))

Kedudukan Hadits Ini:

Hadits ini merupakan salah satu hadits yang sangat agung kedudukannya, karena dia mencakup seluruh ajaran agama Islam, entah itu yang berkaitan dengan hak-hak Allah, hak-hak rasul-Nya maupun hak-hak umat manusia pada umumnya. (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 54).

Penjelasan Hadits:

«الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ»

“Agama itu nasihat.”

Kata ad-dien dalam bahasa Arab mempunyai dua makna:

  1. Pembalasan, contohnya firman Allah ta’ala, مَالِكِ يَوْمِ الدِّيـن Artinya: “Yang menguasai hari pembalasan. (QS. Al-Fatihah [1]: 4)
  2. Agama, contohnya firman Allah ta’ala, وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً Artinya: “Dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maidah [5]: 3)

Adapun dalam hadits kita ini, yang dimaksud dengan kata ad-dien adalah: agama (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal: 135-136).

Kata an-nashihah berasal dari kata an nush-hu yang secara etimologi mengandung dua makna:

  1. Bersih dari kotoran-kotoran dan bebas dari para sekutu.
  2. Merapatnya dua sesuatu sehingga tidak saling berjauhan.

Adapun definisi an-nashihah secara terminologi dalam hadits ini adalah: Mengharapkan kebaikan orang yang dinasihati, definisi ini berkaitan dengan nasihat yang ditujukan kepada pemimpin umat Islam dan rakyatnya. Adapun jika nasihat itu diarahkan kepada Allah, kitab-Nya dan Rasul-Nya, maka yang dimaksud adalah merapatnya hubungan seorang hamba dengan tiga hal tersebut di atas, di mana dia menunaikan hak-hak mereka dengan baik.

Dalam memahami sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “agama itu nasihat”, para ulama berbeda pendapat; ada yang mengatakan bahwa semua ajaran agama Islam tanpa terkecuali adalah nasihat. Sebagian ulama yang lain menjelaskan maksud dari hadits ini adalah bahwa sebagian besar ajaran agama Islam terdiri dari nasihat, menurut mereka hal ini senada dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« الدعاء هو العبادة »

“Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Dawud (II/109 no. 1479), at-Tirmidzi (V/456 no. 3372) dan Ibnu Majah (V/354 no. 3828), At-Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih, Ibnu Hajar dalam Fath al Bari, (I/49) berkata, sanadnya jayyid (bagus), Al-Albani berkata: shahih.)

Juga semisal dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« الحج عرفة »

“Haji adalah Arafah.” (HR. At-Tirmidzi (III/228 no. 889), an-Nasai (V/256), Ibnu Majah (IV/477 no. 3015), Ahmad (IV/309) dan Ibn Khuzaimah (IV/257). Al-Albani berkata: shahih.)

Bukan berarti bahwa ibadah dalam agama Islam itu hanya berbentuk doa saja, juga bukan berarti bahwa ritual ibadah haji hanya wukuf di Arafah saja, yang dimaksud dari kedua hadits adalah: menerangkan betapa pentingnya kedudukan dua macam ibadah tersebut.

Akan tetapi jika kita amati dengan seksama hal-hal yang memiliki hak untuk mendapatkan nasihat -yang disebutkan dalam hadits ini- akan kita dapati bahwa betul-betul ajaran agama Islam semuanya adalah nasihat, tanpa terkecuali. Entah itu yang berkenaan dengan akidah, ibadah, maupun muamalah. (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 54-55)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja tidak langsung menjelaskan dari awal siapa saja yang berhak mendapatkan nasihat ini, agar para sahabat sendiri yang bertanya untuk siapakah nasihat itu. Tujuan metode ini -yakni metode melemparkan suatu masalah secara global kemudian setelah itu diperincikan-, adalah agar ilmu tersebut membekas lebih dalam. Hal itu dikarenakan tatkala seseorang mengungkapkan suatu hal secara global, para pendengar akan mengharap-harap perincian hal tersebut, kemudian datanglah perincian itu di saat kondisi jiwa berharap serta menanti-nantikannya, sehingga membekaslah ilmu itu lebih dalam di dalam jiwa. Hal ini berbeda jika perincian suatu ilmu sudah disampaikan kepada pendengar sejak awal pembicaraan. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 136)

قلنا: لِمَـنْ؟

Kami (para sahabat) bertanya, “Hak siapa nasihat itu wahai Rasulullah?”

Huruf lam dalam perkataan para sahabat لِمنْ fungsinya adalah untuk istihqaq (menerangkan milik atau hak), yang berarti: nasihat ini haknya siapa wahai Rasulullah? (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 55).

قال: لله, ولكتابه, ولرسوله, لأئمة المسلمين وعامتهم.

Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”.

Dalam jawaban beliau ini diterangkan bahwa yang berhak untuk mendapatkan nasihat ada lima:

Pertama: Nasihat untuk Allah ta’ala

Nasihat untuk Allah ta’ala artinya: menunaikan hak-hak Allah baik itu hak yang wajib maupun yang sunnah (Ibid, lihat pula: Ta’dzim Qadr ash-Shalah, karya Muhammad bin Nashr al-Marwazy, II/691-692).

Hak-hak Allah yang wajib mencakup antara lain:

  1. Beriman terhadap rububiyah Allah ta’ala, yang berarti: meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Rabb segala sesuatu, satu-satunya pencipta, Yang memberi rezeki, Yang menghidupkan dan mematikan, Yang mendatangkan manfaat dan melindungi dari marabahaya, Yang mengabulkan doa, Yang Maha memiliki dan menguasai segala sesuatu, tidak ada sekutu bagi-Nya (Taisir al- ‘Aziz al-Hamid, oleh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab, hal 26). Allah ta’ala berfirman,
  2. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

    “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.” (QS. Al-Fatihah: 1)

  3. Beriman terhadap uluhiyah Allah ta’ala, yang berarti: mengesakan Allah ta’ala dalam segala macam bentuk ibadah (Al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, karya Dr. Shalih al-Fauzan, hal 30). Jadi kita harus mengikhlaskan semua ibadah kita, mulai dari shalat, doa, kurban, sampai al-khauf (rasa takut), al-mahabbah (cinta), dan ibadah-ibadah yang lainnya. Allah ta’ala berfirman,
  4. وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

    “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

  5. Beriman terhadap asmaa’ (nama-nama) dan shifaat (sifat-sifat) Allah ta’ala. Maksudnya adalah: Mengesakan Allah ta’ala dalam nama-nama-Nya yang mulia serta sifat-sifat-Nya yang agung, yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, sembari mengimani makna dan hukum-hukumnya, tanpa mengotorinya dengan tahrif (mengubah), ta’thiltakyif (berusaha mencari-cari caranya), atau tamtsil (meyakini bahwa sifat-sifat Allah seperti sifat-sifat para makhluk). Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam (menafikan), berfirman,
  6. لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

    “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuraa: 11). (Lihat: Mu’taqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Tauhidil Asma’ wash Shifat, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi, hal 31)

  7. Melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-larangan yang diharamkan-Nya. Ini adalah salah satu tanda rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya. (Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, karya Dr. Bandar al-’Abdaly, hal 37). Allah berfirman,
  8. قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ * قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

    “Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran: 31-32)

    Hal-hal yang wajib contohnya: mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan ramadhan, berdakwah kepada agama Allah dan lain-lain. Contoh larangan-larangan: syirik, berzina, bermain judi, dan lain sebagainya.

  9. Tidak rela melihat larangan-Nya dilanggar, serta merasa bahagia jika melihat para hamba-Nya taat dalam menjalankan perintah-Nya (Ta’zhim Qadr ash-Sholah, II/692).

agama adalah nasihat

Adapun hak-hak Allah yang sunnah, contohnya adalah:

  1. Mengutamakan hal-hal yang dicintai oleh Allah ta’ala atas hal-hal yang dicintai oleh diri sendiri. Jika suatu saat seorang hamba dihadapkan kepada dua perkara salah satunya berkaitan dengan pribadinya dan yang lain berkaitan dengan hak Allah, maka dia mendahulukan yang merupakan hak Allah, serta mengakhirkan hak pribadinya (Ta’zhim Qadr ash-Sholah, II/692). Tentunya yang dimaksud di sini adalah perkara-perkara yang mustahab hukumnya.
  2. Selalu mengingat bagaimana kelak di hari kiamat dia berdiri di hadapan Allah (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 56).

Kedua: Nasihat Untuk Kitab-Nya (al-Qur’an).

Nasihat untuk al-Qur’an maksudnya adalah: menjalankan hak-hak al-Qur’an, baik itu hak-hak yang wajib maupun yang sunnah hukumnya.

Adapun hak-hak al-Qur’an yang wajib antara lain:

  1. Meyakini bahwasanya al-Qur’an itu betul-betul kalam (perkataan) Allah ta’ala, baik itu huruf-hurufnya maupun makna yang terkandung di dalamnya. Allah ta’ala benar-benar berfirman dengannya, lantas malaikat Jibril menyampaikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar dibacakan kepada umatnya Kita harus mengagungkan dan mencintainya karena dia adalah kalamullah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, Allah berfirman,
  2. إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

    “Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus”. (QS. Al-Israa: 9)

  3. Beriman bahwasanya al-Qur’an adalah sebaik-baik perkataan, juga hukum-hukum yang terkandung di dalamnya adalah sebaik-baik hukum, tidak ada yang setara dengannya. Allah ta’ala berfirman,
  4. اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَاباً

    “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an”. QS. Az-Zumar: 43.

  5. Menjalankan perintah-perintah Allah yang Dia wajibkan di dalamnya, serta menjauhi larangan-larangan yang Dia haramkan atas umat-Nya di dalamnya.
  6. Meyakini kebenaran berita-berita yang disebutkan di dalamnya, tanpa dicemari dengan keraguan sedikit pun. Jika Allah ta’ala telah memberitakan di dalamnya tentang adanya kehidupan sesudah dunia yang fana ini, kita pun harus mempercayainya, tanpa berusaha untuk memustahilkannya dengan otak kita yang terbatas. Sebagaimana yang diperbuat oleh para ahli filsafat dari dulu sampai sekarang, yang terlalu mendewakan akal mereka yang lemah. Allah ta’ala menceritakan perkataan nenek moyang mereka,
  7. إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ

    “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan”. QS Al-An’am: 29.

  8. Melindungi al-Qur’an dari ulah orang-orang yang menafsirkannya semaunya sendiri, serta membantah dan mengungkap kebatilan mereka.

(Lihat: Shiyanah Shahih Muslim, karya Ibnu ash-Sholah, hal 224, dan Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 136).

Sedangkan hak-hak al-Qur’an yang sunnah hukumnya, contohnya:

  1. Memperbanyak dalam membaca, menghafalkan dan menghayatinya. Ini adalah salah satu bentuk merapatnya hubungan seorang hamba dengan kitab Rabbnya. (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 56). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan keutamaan membaca al-Qur’an dalam sabdanya,
  2. اقرؤوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه

    “Bacalah al-Qur’an, sesungguhnya dia akan menjadi syafa’at di hari kiamat bagi orang-orang yang membacanya.” (HR. Muslim, I/553 no. 804)

    Dan masih banyak hadits-hadits nabawi lainnya yang menceritakan keutamaan membaca kitabullah yang agung ini. Menilik besarnya keutamaan membaca al-Qur’an para salaf sangat memperhatikan hal itu, sebagai contoh: Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhuradhiyallahu ‘anhu seminggu sekali, dan al-Aswad bin Yazid enam hari sekali. (Lihat: Fadhail al-Qur’an, karya Ibnu Katsir, hal 250-251) senantiasa mengkhatamkan al-Qur’an setiap delapan hari sekali, Tamim ad-Daary

  3. Tentunya seorang muslim yang menginginkan kebaikan di dunia dan di akheratnya tidak mencukupkan diri dengan hanya membaca dan menghafal al-Qur’an saja, akan tetapi dia juga berusaha semampunya untuk memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Sebab hal itu akan melapangkan hatinya, mendatangkan rasa bahagia dan ketenangan jiwa, serta membantu agar bisa mengamalkannya. Di antara faktor yang amat membantu seorang muslim dalam memahami kitabullah, adalah kembali kepada kitab-kitab tafsir di saat dia menemukan kesulitan. Tafsir Ibnu Katsir dan tafsir as-Sa’dy, merupakan salah satu pilihan terbaik seorang muslim yang ingin menghayati isi al-Qur’an (Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38). Ibnul Qayim dengan sangat piawai berpetuah, “Seandainya orang-orang tahu apa yang akan mereka petik jika mereka membaca al-Qur’an dengan tadabbur (perenungan), niscaya dia akan menyibukkan diri dengannya dan tidak mempedulikan urusan lainnya. Di saat melewati suatu ayat, yang kebetulan dia sangat membutuhkannya untuk mengobati sebuah penyakit yang bercokol di hatinya, dia akan mengulang-ulanginya meskipun sampai seratus kali atau bahkan semalam suntuk. Membaca al-Qur’an dengan penghayatan dan pemahaman lebih baik daripada mengkhatamkan al-Qur’an tanpa merenungi dan memahami maknanya. Sebab tadabbur itu akan lebih bermanfaat untuk hati, lebih menambah keimanan, serta seorang hamba bisa lebih merasakan manisnya al-Qur’an.” (Miftah Daar as-Sa’adah, karya Ibnul Qayyim, I/553).
  4. Mengajarkan al-Qur’an terhadap kaum muslimin dan memasyarakatkannya (Ta’dzim Qadr ash-Shalah (II/693), dan Qawa’id wa Fawa’id min al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Nadzim Muhammad Sulthan, hal 93). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghasung,
  5. خيركم من تعلم القرآن وعلمه

    “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya”.

Ketiga: Nasihat Untuk Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam

Nasihat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang diterangkan oleh Imam al-Qurthuby tatkala beliau menafsirkan ayat: إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ “Jika mereka menunaikan nasihat untuk Allah dan Rasul-Nya”. (QS. At-Taubah: 91). Beliau berkata: “Nasihat untuk Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti: mempercayai kenabiannya, senantiasa menaatinya di setiap perintah dan larangannya, mencintai siapa yang mencintainya serta memusuhi siapa yang memusuhinya, menghormatinya, mencintainya dan mencintai keluarganya, mengagungkannya serta mengagungkan sunah-sunahnya dengan cara menghidupkannya tatkala dia padam, mencari dan berusaha memahaminya, melindungi, menyebarkan dan mengajak umat manusia untuk kembali kepadanya, serta berusaha untuk berakhlak dengan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.” (Tafsir al-Qurthuby, VIII/210).

Jadi, nasihat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup berbagai hal, antara lain:

  1. Meyakini bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah ta’ala, dan beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan. Juga beriman bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang paling akhir yang merupakan penutup para nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 56)
  2. Menaati perintahnya dan menjauhi larangan. Allah menegaskan,
  3. وما آتاكم الرسول فخذوه وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

    “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr: 7)

  4. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, karena hal itu adalah wahyu yang bersumber dari Allah ta’ala. Di dalam al-Qur’an,
  5. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

    Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. An-Najm: 3-4)

  6. Beribadah kepada Allah dengan tata cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ditambah-tambahi ataupun dikurangi. Allah ta’ala berfirman, لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُول الله أسوة حسنةِ Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)
  7. Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan,

    من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

    “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak”. (HR. Muslim, III/1344 no. 1718)

  8. Meyakini bahwa apa yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setingkat dengan apa yang datang dari Allah ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam as-Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam al-Qur’an (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 138). Allah ta’ala berfirman,
  9. مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

    “Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80)

  10. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau masih hidup, dan membela ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghapal, memahami dan mengamalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menghidupkan sunnahnya serta menyebarkannya di kalangan masyarakat.
  11. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Suatu hari Umar bin Khattab shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau benar-benar lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri!”. Nabi pun menyahut, “Tidak demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri!”. Maka Umar berkata, “Adapun sekarang demi Allah engkau betul-betul lebih aku cintai dari diriku sendiri!”. Nabi pun bersabda, “Sekarang baru (engkau benar-benar mencintaiku).” (HR. Bukhari no. 6632).
  12. Akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang yang mengarahkan ibadah-ibadah yang seharusnya dipersembahkan untuk Allah ta’ala, dia persembahkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya: beristighatsah dan memohon kepadanya, meyakini bahwa beliau mengetahui semua perkara-perkara yang ghaib, dan lain sebagainya. Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrim ini,

    لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم, إنما أنا عبده, فقولوا: عبد الله ورسوله

    “Janganlah kalian terlalu berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani terlalu berlebih-lebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari no. 3445)

  13. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang yang dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy-Syifa bita’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl (II/573), Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, (III/407), untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi (I/344-358)), serta setiap orang yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam kerangka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ahAsy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, 2/575, untuk pembahasan lebih lanjut silakan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi, (

Rahasia Keampuhan Nasihat

Oleh : ilham fatahillah

Bagi sebagian guru atau Ustadz, kadang mereka merasakan kesulitan dalam menasihati murid-muridnya yang membandel. Dan tidak sedikit pula para orang tua sekarang juga merasakan begitu sulitnya menasihati anak. Bahkan kita sering menjumpai sang anak justru sering membantah nasihat orang tuanya. Entah siapakah yang perlu disalahkan dalam proses tarbiyah yang ‘gagal' seperti ini. Apakah mereka (para guru, ustadz atau orang tua) yang gagal memahami retorika menasihati anak? Ataukah anak-anak sekarang memang sulit menerima nasihat, karena saking parahnya kerusakan pergaulan masa kini?.

Sementara itu, kita kadang merasa tersentuh hati tatkala mendengarkan nasihat-nasihat berharga dari seorang ustadz atau orang yang kita hormati lainnya. Namun di saat yang lain, hati kita seolah-olah tidak bisa tersentuh dengan nasihat. Kata-kata yang meluncur dari lisan guru, ustadz, orang tua, atau mungkin teman dekat kita terasa hambar di telinga. Pepatah mengatakan "ibarat masuk telinga kanan keluar dari telinga kiri" artinya nasihat itu berlalu begitu saja tanpa sempat mengendap di hati. Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah hati kita sudah kadung keras, hingga sulit menerima nasihat? Ataukah orang yang memberi nasihat, kurang pintar mengolah kata?

Memang hati yang keras itu biasanya sulit menerima nasihat dan ilmu. Tapi sebuah nasihat itu akan lebih mudah diterima, manakala sang pemberi nasihat memiliki power of spiritual atau kekuatan spiritual berupa kejujuran dalam memberikan nasihat. Kejujuran nasihat yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah kesesuaian antara yang di ucapkan dengan yang diamalkan.Dan kita semua sepakat bahwa nasihat itu akan lebih mengena dan menyentuh hati, kalau betul-betul bersumber dari hati yang ikhlas.

Ada kisah menarik yang bisa kita ambil hikmahnya berkaitan dengan permasalahan ini. Diceritakan bahwa Hasan Al-Basri duduk dalam majelisnya, dan biasanya setiap hari ia sering mengadakan majelis ditempat itu juga. Adapun Habib Al-Ajami duduk dalam majelisnya yang biasanya majelis itu sering didatangi oleh ahli dunia dan perdagangan. Ia lalai dengan menjelis ilmu yang diadakan oleh Hasan Al-Basri, dan ia tidak menoleh sedikitpun dengan apa yang disampaikan oleh Hasan Al-Basri. Hingga suatu hari ia ingin mengetahui apa yang disampaikan Hasan Al-Basri, maka dalam hati ia berkata: "Dalam majelis Hasan Al-Basri diceritakan tentang surga, neraka dan manusia diberi semangat untuk mendapatkan akhirat, dan ditanamkan sikap zuhud terhadap dunia (memfokuskan segala karunia Allah untuk akhirat)". Maka perkataan ini menancap dalam hatinya, lalu ia pun berkata: "Mari kita mendatangi majelis Al-Hasan Al-Basri!" Orang-orang yang duduk dalam majelis ilmu berkata kepada Hasan Al-Basri: "Wahai Abu Said ini adalah Habih Al-Ajami menghadap kepadamu, nasehatilah ia."

Lalu Habib Al-Ajami menghadap Hasan Al-Basri, dan Hasan Al-Basri pun menghadap kepadanya kemudian menasehati Habib Al-Ajami, ia ingatkan dengan Jannah, ia takut-takuti dengan neraka, ia hasung untuk melakukan kebaikan, ia ingatkan untuk berlaku zuhud di dunia.
Maka Habib Al-Ajami pun terpengaruh dengan nasehat itu, dan langsung bersedekah 40 ribu dinar. Ia pun berlaku qona'ah (menerima) dengan hal sedikit, dan ia terus beribadah kepada Allah hingga meninggal dunia. [Hilyatul Aulia 6/149 dengan sedikit perubahan, dan lihat Siyar ‘Alamun Nubala 6/144]

Dari sepenggal kisah di atas, kita melihat kejujuran Hasan Al-Basri (semoga Allah merahmati beliau) dalam dakwahnya, selamatnya tujuan dakwahnya, hingga nasihatnya membekas dalam hati Habib Al-Ajami. Nasihat yang jujur itu telah memindahkannya dari riuh suara di pasar dan perdagangan, hingga menjadi sorang ahli ibadah dan ahli zuhud yang mempunyai do'a yang mustajab (doa yang dikabulkan) dan karamah yang mulia. Ia seorang ahli bersedekah dan berinfak di jalan Allah Ta'ala.

Alangkah indahnya perkataan Malik bin Dinar mengenai hal ini: "Kejujuran itu nampak dalam hati yang lemah, lalu pemilik hati itupun mencarinya, dan Allah menambahnya hingga menjadikannya berbarakah pada dirinya, dan menjadilah perkataan/nasihatnya itu obat bagi orang-orang yang bersalah". Lalu Malik berkata: "Hasan Al-Basri, Said bin Jubair dan semisal mereka itu, adalah mereka yang Allah hidupkan perkataannya kepada sekelompok manusia" [Hilyatul Aulia 2/359]

Begitu pula tatkala Zainal Abidin Ali bin Al-Husain mendengar nasehat Hasan Al-Basri, maka ia pun berkata: "Maha suci Allah ini adalah perkataan orang yang jujur" [Akhbarul Hasan Al-Basri Li Ibnul Jauzi hal. 2]

Salah seorang ulama ditanya: "Mengapa perkataan Salafus Shalih lebih bermanfaat dari perkataan kita?" Maka ia pun menjawab : "Karena mereka berbicara untuk kemuliaan Islam, untuk keselamatan jiwa, untuk mencari ridho Allah Yang Maha Pemurah, sedangkan kita berbicara untuk kemuliaan diri, mencari dunia dan mencari keridhaan mahluk" [Sifatu Sofwah karya Ibnul Jauzi 4/122]

Dan diantara sebab-sebab seseorang mendapatkan manfaat dari nasehat-nasehat Hasan Al-Basri dan dari majelis-majelisnya, bahwasanya Al-Hasan Al-Basri (semoga Allah merahmati beliau) adalah panutan yang baik, dan tidaklah termasuk orang-orang yang mengatakan apa yang tidak ia kerjakan.

Dikatakan kepada salah seorang dari teman Hasan Al-Basri: "Apakah sesuatu yang menyebabkan Hasan Al-Basri mencapai kedudukannya seperti ini? Padahal di antara kalian terdapat para ulama dan ahli-ahli fikih? Teman Hasan Al-Basri itupun berkata: "Adalah Al-Hasan Al-Basri jika memerintahkan suatu perkara maka ia adalah seorang manusia yang paling mengamalkan terhadap apa yang ia perintahkan, dan jika ia melarang dengan suatu kemungkaran maka ia adalah seorang manusia yang paling jauh meninggalkan larangan itu" [Tablis Iblis karya Ibnul Jauzi hal. 68].

Begitulah Hasan Al Basri dengan kejujurannya dalam memberikan nasihat. Nasihat yang jujur akan mampu menyentuh dan menggerakkan hati setiap pendengarnya. Dan Allah SWT mengingatkan orang yang tidak jujur dalam nasihatnya dengan firman-Nya, "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?" (QS. Al Baqarah/2 : 44). (Ilham)

Jabatan

Janganlah kamu menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu, maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi, jika ditugaskan tanpa ambisimu, maka kamu akan ditolong mengatasinya.

Nabi Muhammad SAW

Sangat sulit dewasa ini bekerja tanpa pamrih dan tanpa ambisi. Apalagi jika ada suatu jabatan yang mungkin dapat diraih. Tidak ada suatu peluang yang begitu menarik seperti jabatan. Jabatan merupakan fenomena tata-cara kehidupan birokrasi modern, supaya struktur kerja lebih profesional, mencangkup sangkil dan mangkus efisien dan efektif. Jabatan adalah maqam, suatu tataran pencapaian martabat kejiwaan yang mengejawantah dalam tataran kedudukan di masyarakat.

Hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang dikutip di atas, memberi jarak antara jabatan dan ambisi. Jabatan harus tak ada hubungannya dengan ambisi. Walau dalam bentuk pikiran, ambisi akan jabatan tidak dibenarkan. Nah, pikiran yang bersih, inilah soalnya. Pernah diceritakan tentang Imam Al-Ghazali yang sedang jadi imam salat berjamaah, di antaranya bermakmum adiknya, Ahmad. Ketika dua rakaat sedang berlangsung, adiknya memisahkan diri untuk bersalat sendirian. Apa sebabnya? Sang adik melihat darah di tubuh kakaknya, sehingga kakaknya dianggapnya tidak bersih dalam berwudu. Sang kakak memberi keterangan bahwa ia memang teringat buku fikih yang sedang ditulisnya, di antaranya bab tentang haid dan nifas. Dari keterangan sang imam ini kita bisa memetik pelajaran betapa besar peran kebersihan jiwa pada seseorang. Lebih-lebih bila ia telah mencapai tataran seorang imam bagi umatnya.

''Peristiwa darah'' sang imam tidak hanya mencakup karomah yang telah dikaruniakan kepadanya, melainkan juga betapa bersih jiwanya dari ambisi, sehingga apa-apa yang dengan serius dipikirkannya, menjadi kasat mata dalam arti yang harfiah. Itulah makanya, seorang ''suci'' begitu berhati-hati dalam berpikir, berbicara, dan bertindak, sehingga tingkah-lakunya menunjukkan kebersihan jiwanya. Jika tidak demikian, akan goncang rumahtangganya, masyarakatnya, maupun hubungannya dengan Tuhan. Bisa-bisa menimbulkan kerusakan.

()