Senin, April 14, 2008

Larangan Banyak Bersumpah

Firman Allah SWT:

“Dan jagalah sumpahmu …” (QS. Al Maidah, 89).

Abu Hurairah r.a. berkata: "Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:


"Sumpah itu dapat melariskan barang dagangan namun dapat mengahapus keberkahan usaha." (HR. Bukhari dan Muslim).

Diriwayatkan dari Salman r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Tiga orang yang mereka itu tidak diajak bicara dan tidak disucikan oleh Allah (pada hari kiamat), dan mereka menerima adzab yang pedih, iaitu: orang yang sudah beruban (tua) yang berzina, orang miskin yang sombong, dan orang yang menjadikan Allah sebagai barang dagangannya, ia tidak membeli atau menjual kecuali dengan bersumpah" (HR. Thabrani dengan sanad yang shaheh).

Diriwayatkan dalam shoheh Bukhari dan Muslim dari Imran bin Husain r.a. ia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda:


"Sebaik-baik umatku adalah mereka yang hidup pada masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya lagi" - Imran berkata: "Aku tidak ingat lagi apakah Rasulullah s.a.w. menyebutkan generasi setelah masa beliau dua kali atau tiga?" - "Kemudian akan ada setelah masa kalian orang-orang yang memberikan kesaksian sebelum ia diminta, mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya, mereka bernazar tapi tidak memenuhi nazarnya, dan badan mereka tampak gemuk gemuk".

Diriwayatkan pula dalam shaheh Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Mas'ud r.a. bahawa Nabi Muhammad s.a.w. bersabda:

"Sebaik-baik manusia adalah mereka yang hidup pada masaku, kemudian generasi yang datang berikutnya, kemudian generasi yang datang berikutnya lagi, kemudian akan datang orang-orang dimana diantara mereka kesaksianya mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului kesaksiannya".

Ibrahim (An Nakhoi) berkata: "Mereka memukuli kami kerana kesaksian atau sumpah (yang kami lakukan) ketika kami masih kecil".


Kandungan bab ini:

1-Adanya wasiat dari Allah untuk menjaga sumpah.

2-Penjelasan Rasulullah s.a.w. bahawa sumpah itu dapat melariskan barang dagangan, tapi ia juga dapat menghapus keberkahan usaha itu.

3-Ancaman berat bagi orang yang selalu bersumpah, baik ketika menjual atau membeli.

4-Peringatan bahawa dosa itu boleh menjadi besar walaupun faktor yang mendorong untuk melakukannya itu kecil [119] .

5-Larangan dan celaan bagi orang yang bersumpah tanpa diminta.

6-Pujian Rasulullah untuk ketiga generasi atau keempat generasi (sebagaimana tersebut dalam suatu hadis), dan memberitakan apa yang akan terjadi selanjutnya.

7-Larangan dan celaan bagi orang yang memberikan kesaksian tanpa diminta.

8-Orang-orang salaf (terdahulu) memukul anak anak kecil kerana memberikan kesaksian atau bersumpah[120].

_____________________________________

Catatan Kaki:

[119] Seperti orang yang sudah beruban (tua) yang berzina, atau orang melarat yang congkak, semestinya mereka tidak melakukan perbuatan dosa ini, kerana faktor yang mendorong mereka untuk berbuat demikian adalah lemah atau kecil.

[120] Hal tersebut dilakukan oleh orang-orang salaf untuk mendidik anak anak agar tidak gampang bersaksi dan menyatakan sumpah, yang akhirnya akan menjadi suatu kebiasaan; kalau sudah menjadi kebiasaan, dengan ringan ia akan bersaksi atau bersumpah sampai dalam masalah yang tidak patut baginya untuk bersumpah. Dan banyak bersumpah itu dilarang, kerana perbuatan ini menunjukkan suatu sikap meremehkan dan tidak mengagungkan nama Allah

EIGHT LIES OF MOTHER ( Delapan kebohongan Ibu)

A Story that I cannot forget....

(sebuah cerita yang tak dapat aku lupakan.....)

1. The story began when I was a child; I was born as a son of a poor family. Even for eating, we often got lack of food. Whenever the time for eating, mother often gave me her portion of rice. While she was removing her rice into my bowl, she would say "Eat this rice, son. I'm not hungry".

That was Mother's First Lie.

1. Cerita ini dimulai ketika aku masih kecil, saya terlahir sebagai anak lelaki dari sebuah keluarga miskin. Yang terkadang untuk makan pun kita sering kekurangan. Kapanpun ketika waktu makan, ibu selalu memberikan bagian nasi nya untuk saya. Ketika beliau mulai memindahkan isi mangkuknya ke mangkuk saya, dia selalu berkata "Makanlah nasi ini anak ku. Aku tidak lapar"

ini adalah kebohongan Ibu yang pertama.

2. When I was getting to grow up, the persevering mother gave her spare time for fishing in a river near our house, she hoped that from the fishes she got, she could gave me a little bit nutritious food for my growth. After fishing, she would cook the fishes to be a fresh fish soup, which raised my appetite. While I was eating the soup, mother would sit beside me and eat the rest meat of fish, which was still on the bone of the fish I ate. My heart was touched when I saw it. I then used my chopstick and gave the other fish to her. But she immediately refused it and said "Eat this fish, son. I don't really like fish."

That was Mother's Second Lie.

2. Ketika aku mulai tumbuh dewasa, dengan tekun nya ibu menggunakan waktu luangnya untuk memancing di sungai dekat rumah kami, dia berharap jika dia mendapatkan ikan, dia dapat memberikan aku sedikit makanan yang bergizi untuk pertumbuhan ku. Setelah memancing, dia akan memasak ikan tersebut menjadi sup ikan segar yang meningkatkan selera makan ku. Ketika aku memakan ikan tersebut, ibu akan duduk disebelah ku dan memakan daging sisa ikan tersebut, yang masih menempel pada tulang ikan yang telah aku makan. Hatiku tersentuh sewaktu melihat hal tersebut, aku menggunakan sumpitku dan memberikan potongan ikan yang lain kepadanya. Tetapi dia langsung menolaknya dengan segera dan mengatakan " Makanlah ikan itu nak, aku tidak seberapa menyukai ikan"

Itu adalah kebohongan ibu yang ke dua


3. Then, when I was in Junior High School, to fund my study, mother went to an economic enterprise to bring some used-matches boxes that would be stuck in. It gave her some money for covering our needs. As the winter came, I woke up from my sleep and looked at my mother who was still awoke, supported by a little candlelight and within her perseverance she continued the work of sticking some used-matches box. I said, "Mother, go to sleep, it's late, tomorrow morning you still have to go for work." Mother smiled and said "Go to sleep, dear. I'm not tired."

That was Mother's Third Lie.

3. Kemudian, ketika aku berada di bangku sekolah menengah, untuk membiayai pendidikan ku, ibu pergi ke sebuah badan ekonomi (KUD) dan membawa kerajinan dari korek api bekas. kerajinan tersebut menghasilkan sejumlah uang untuk menutupi kebutuhan kami. Ketika musim semi datang, aku terbangun dari tidurku dan melihat ibuku yang masih terjaga, dan ditemani cahaya lilin kecil dan dengan ketekunan nya dia melanjutkan pekerjaan nya menyulam. Aku berkata "Ibu, tidurlah, sekarang sudah malam, besok pagi kamu masih harus pergi bekerja." Ibu tersenyum dan berkata "Pergilah tidur, sayang. Aku tidak Lelah."

Itu adalah kebohongan ibu yang ke tiga

4. At the time of final term, mother asked for a leave from her work in order to accompany me. While the daytime was coming and the heat of the sun was starting to shine, the strong and persevering mother waited for me under the heat of the sun's shine for several hours. As the bell rang, which indicated that the final exam had finished, mother immediately welcomed me and poured me a glass of tea that she had prepared before in a cold bottle. The very thick tea was not as thick as my mother's love, which was much thicker. Seeing my mother covering with perspiration, I at once gave her my glass and asked her to drink too. Mother said "Drink, son. I'm not thirsty!”

That was Mother's Fourth Lie.

4. Pada saat Ujian akhir, ibu meminta izin dari tempat ia bekerja hanya untuk menemaniku. Pada saat siang hari dan matahari terasa sangat menyengat, dengan tabah dan sabar ibu menugguku dibawah terik sinar matahari untuk beberapa jam lamanya. Dan setelah bel berbunyi, yang menandakan waktu ujian telah berakhir, Ibu dengan segera menyambutku dan memberikan ku segelas teh yang telah beliau siapkan sebelumnya di botol dingin. kental nya teh terasa tidak sekental kasih sayang dari Ibu, yang terasa sangat kental. Melihat ibu menutup botol tersebut dengan rasa haus, langsung saya memberikan gelasku dan memintanya untuk minum juga. Ibu berkata "Minumlah, nak. Ibu tidak haus!"

Itu kebohongan ibu yang ke empat

5. After the death of my father because of illness, my poor mother had to play her role as a single parent. By held on her former job, she had to fund our needs alone. Our family's life was more complicated. No days without sufferance. Seeing our family's condition that was getting worse, there was a nice uncle who lived near my house came to help us, either in a big problem and a small problem. Our other neighbors who lived next to us saw that our family's life was so unfortunate; they often advised my mother to marry again. But mother, who was stubborn, didn't care to their advice; she said "I don't need love."

That was Mother's Fifth Lie.

5. Setelah kematian ayahku yang disebabkan oleh penyakit, Ibuku tersayang harus menjalankan peran nya sebagai orang tua tunggal. dengan mengerjakan tugasnya terlebih dahulu, dia harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhan kami sendiri. Hidup keluargaku menjadi semakin kompleks. Tak ada hari tanpa kesusahan. Melihat keadaan keluargaku pada saat itu yang semakin memburuk, ada seorang paman yang tinggal dekat rumahku datang untuk menolong kami, baik masalah yang besar dan masalah yang kecil. Tetangga kami yang lain yang tinggal dekat dengan kita melihat kehidupan keluarga kami sangat tidak beruntung, Mereka sering menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang sangat keras kepala, tidak memperdulikan nasihat mereka, dia berkata " Saya tidak butuh cinta"

Itu adalah kebohongan ibu yang ke lima


6. After I had finished my study and then got a job, it was the time for my old mother to retire. But she didn't want to; she was sincere to go to the marketplace every morning, just to sell some vegetable for fulfilling her needs. I, who worked in the other city, often sent her some money to help her in fulfilling her needs, but she was stubborn for not accepting the money. She even sent the money back to me. She said "I have enough money."

That was Mother's Sixth Lie.

6. Setelah saya menyelesaikan pendidikanku dan mendapatkan sebuah pekerjaan. itu adalah waktu bagi ibuku untuk beristirahat. Tetapi dia tetap tidak mayu; dia sangat bersungguh-sungguh pergi ke pasar setiap pagi, hanya untuk menjual beberapa sayuran untuk memenuhi kebutuhan nya. Saya, yang bekerja di kota yang lain, sering mengirimkan beliau sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan nya, tetapi Beliau tetap keras kepala untuk tidak menerima uang tersebut. Beliau sering mengirim kembali uang tersebut kepadaku. Beliau berkata "Saya punya cukup uang"

itu adalah kebohongan ibu yang ke enam

7. After graduated from Bachelor Degree, I then continued my study to Master Degree. I took the degree, which was funded by a company through a scholarship program, from a famous University in America. I finally worked in the company. within a quite high salary, I intended to take my mother to enjoy her life in America. But my lovely mother didn't want to bother her son; she said to me "I'm not used to."

That was Mother's Seventh Lie.

7. Setelah lulus dari program sarjana, kemudian saya melanjutkan pendidikan saya ke tingkat Master, saya mengambil pendidikan tersebut, dibiayai oleh sebuah perusahaan melalui sebuah program beasiswa, dari sebuah Universitas terkenal di Amerika. Akhirnya saya bekerja pada perusahaan tersebut. Dengan gaji yang lumayan tinggi, saya berniat untuk mengambil Ibu dan mengajak nya untuk tinggal di amerika. Tetapi Ibuku tersayang tidak mau merepotkan anak lelakinya, Beliau berkata kepadaku "Saya tidak terbiasa"

itu adalah kebohongan ibu yang ke tujuh


8. After entering her old age, mother got a flank cancer and had to be hospitalized. I, who lived in miles away and across the ocean, directly went home to visit my dearest mother. She lied down in weakness on her bed after having an operation. Mother, who looked so old, was staring at me in deep yearn. She tried to spread her smile on her face; even it looked so stiff because of the disease she held out. It was clear enough to see how the disease broke my mother's body, thus she looked so weak and thin. I stared at my mother within tears flowing on my face. My heart was hurt, so hurt, seeing my mother on that condition. But mother, with her strength, said "Don't cry, my dear. I'm not in pain."

That was Mother's Eight Lie.

8. Sewaktu memasuki masa tua nya, ibu terkena kanker tenggorokan dan harus dirawat di rumah sakit. Saya yang terpisah sangat jauh dan terpisah oleh lautan, segera pulang ke rumah untuk mengunjungi ibuku tersayang. Beliau terbaring lemah ditempat tidurnya selepas selesai menjalankan operasi. Ibu yang terlihat sangat tua, menatapku dengan tatapan rindu yang dalam. Beliau mencoba memberikan senyum diwajahnya. meskipun terlihat sangat menyayat dikarenakan penyakit yang dideritanya. Itu sangat terlihat jelas bagaimana penyakit tersebut menghancurkan tubuh ibuku. dimana beliau sangat terlihat lemah dan kurus. Saya mulai mencucurkan airmata di pipi dan menangis. Hatiku sangat terluka, teramat sangat terluka, melihat ibuku dengan keadaan yang demikian. Tetapi ibu, dengan segala kekuatannya, berkata "jangan menangis, anakku sayang, Ibu tidak sakit"

Itu adalah kebohongan ibu yang ke delapan

After saying her eighth lie, my dearest mother closed her eyes forever!
setelah megatakan kedelapan kebohongan nya, Ibuku tersayang menutup matanya untuk selamanya!

With Kind Regards

Mohammad Usman
Jeddah
SAUDI ARABIA

sasak.net

Minggu, April 13, 2008

Nasehat Memilih Istri

Sedih aku. Kenapa ada ikhwan yang menolak akhwat hanya gara-gara fisik?! Padahal akhwat itu baik, cerdas, faham agama pula. Pokoknya insya Allah ia sholihah, tapi kenapa ada ikhwan yang menolaknya hanya gara-gara dia tidak cantik?!

Mereka, para ikhwan yang mementingkan kecantikan itu, mungkin beralasan dengan berkata bahwa cantik kan termasuk di dalam syarat-syarat wanita untuk dinikahi?! Mereka pun mungkin akan bilang bahwa haditsnya shahih lho! Tapi sayang, mungkin mereka nggak baca sampai akhir kalimat bahwa memilih wanita yang baik agamanya itu lebih selamat!

Mereka mungkin terus bilang, kalau mencari istri yang baik agamanya yang kebetulan cantik boleh khaaan?! Ya memang boleh, tapi pas kebetulan nggak cantik langsung di tolak khaaan?!

***

Ah, andai saja mereka tahu bahwa di zaman sekarang ini orang yang kaya itu akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Dan istri yang hebat di zaman ini adalah yang sanggup hidup miskin. Dan istri yang bijak di zaman ini adalah yang sanggup hidup kaya. Semua kan bisa bilang ‘saya siap hidup susah’ tapi dia nggak akan sanggup kalau nggak hebat. Semua juga siap hidup enak tapi dia akan bangkrut kalau nggak bijak.

Andai saja mereka tahu bahwa istri yang hebat dan bijak itu hanya ada pada istri yang sholihah. Dia lah yang qanaah, yang sanggup hidup dalam keadaan apapun yang diberikan suaminya kepadanya. Dia akan merasa cukup atas apa yang ada. Dan akan bersyukur atas kehidupan yang menyenangkan seperti dia akan bersabar atas kehidupan yang menyusahkan.

***

Mungkin para ikhwan itu hanya memaknai wanita yang baik agamanya itu sebagai wanita yang pakai jilbab panjang dan manis kalau tersenyum. Yang mungkin dari jilbab wanita tersebut mereka bisa menilai bahwa ia faham agama, dan dari senyumannya mungkin mereka bisa menilai bawa ia baik akhlaknya. Tapi mereka tidak tahu bahwa panjangnya jilbab dan manisnya senyuman hanyalah apa yang tampak di luar, sedangkan yang tidak tampak akan mereka ketahui setelah menikah.

Mereka akan tahu istri mereka sebenarnya ketika mereka sudah serumah dengannya, bukan di rumah orang tua ataupun di rumah mertua. Karena di rumah sendiri akan tampaklah seorang istri itu sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai anak orangtuanya yang manja dan selalu diturutkan keinginannya, ataupun sebagai menantu yang rajin dan akan selalu menampakkan kebaikan kepada mertuanya.

Mungkin sebaiknyalah orang-orang yang sudah menikah itu tinggal di rumahnya sendiri, walaupun harus kontrak atau kredit. Karena di rumah itu akan tampaklah sifat asli istri dalam menyikapi hidup yang diberikan suaminya kepadanya. Mereka akan tahu apakah jilbab isteri mereka membuktikan kefahamannya dalam agama, dan apakah manis senyuman mereka membuktikan kebaikan akhlaknya. Tetap dia pakaikah jilbab yang panjang itu ketika terik matahari panas menghujam?! Tetap adakah senyuman manis itu ketika lebat turunnya hujan?!

***

Isteri yang sholihah, dialah yang qanaah.
Yang tahu hari tak selalu cerah tapi dia tak berubah.

Istri yang sholihah itu tidak harus kaya, kalau pun kaya Alhamdulillah.
Dia juga tidak harus cantik, kalau pun cantik itu hadiah.

Isteri yang sholihah itu adalah yang qana’ah, senangnya berada di rumah.
Keluar rumah hanya untuk belanja atau pergi bersama suaminya.
Dia tahu bahan makanan telah mengalami kenaikan harga,
dan tidak menyusahkan suaminya dengan segala tuntutannya.

Ada juga memang wanita yang bekerja di luar rumah,
tapi yang sholihah, dia mau berhenti kerja kalau suaminya memerintahkannya,
dan tetap bekerja kalau suaminya meridhoinya.

***

Kau mungkin bingung bagaimana mungkin mendapatkan wanita shalihah
sementara sedari tadi aku terus berkata yang shalihah adalah yang qanaah,
sedangkan qanaah itu tidak tampak di mata.

Yang jelas, nggak usah muluk-muluk cari yang cantik,
karena yang cantik seperti bintang di langit.
Mungkin dia mudah ditemukan, bahkan di gelap malam,
tetapi sadarilah dia tak mudah dijangkau tangan.
Ketika itu pun kau mungkin melihatnya berkilauan,
tetapi sadarilah ketika siang dia menghilang.

Isteri yang sholihah itu seperti mutiara di dasar laut,
tak selalu putih terkadang terbungkus lumut.
Di dalam cangkangnya dia senang berada,
menjaga diri dan tak mudah digoda.

Kau mungkin harus menyelam untuk menemukannya.
Tapi kau akan tahu seberharga apa dia ketika kau mendapatkannya.

***

"Tiada kekayaan yg diambil seorang mukmin setelah takwa kepada Allah yang lebih baik dari istri sholihah.” [Hadits Riwayat Ibn Majah]

-Mutiara-
yang berusaha menjadi seberharga namanya…

http://mutiarasuamiku.blogspot.com/

kisah teladan [Bukan Permata Biasa]

Di Madinah ada seorang wanita cantik shalihah lagi bertakwa. Bila malam mulai merayap menuju tengahnya, ia senantiasa bangkit dari tidurnya untuk shalat malam dan bermunajat kepada Allah. Tidak peduli waktu itu musim panas ataupun musim dingin, karena disitulah letak kebahagiaan dan ketentramannya. Yakni pada saat dia khusyu’ berdoa, merendah diri kepada sang Pencipta, dan berpasrah akan hidup dan matinya hanya kepada-Nya.

Dia juga amat rajin berpuasa, meski sedang bepergian. Wajahnya yang cantik makin bersinar oleh cahaya iman dan ketulusan hatinya.

Suatu hari datanglah seorang lelaki untuk meminangnya, konon ia termasuk lelaki yang taat dalam beribadah. Setelah shalat istiharah akhirnya ia menerima pinangan tersebut. Sebagaimana adat kebiasaan setempat, upacara pernikahan dimulai pukul dua belas malam hingga adzan subuh. Namun wanita itu justru meminta selesai akad nikah jam dua belas tepat, ia harus berada di rumah suaminya. Hanya ibunya yang mengetahui rahasia itu. Semua orang ta’jub. Pihak keluarganya sendiri berusaha membujuk wanita itu agar merubah pendiriannya, namun wanita itu tetap pada keinginannya, bahkan ia bersikeras akan membatalkan pernikahan tersebut jika persyaratannya ditolak. Akhirnya walau dengan bersungut pihak keluarga pria menyetujui permintaan sang gadis.

Waktu terus berlalu, tibalah saat yang dinantikan oleh kedua mempelai. Saat yang penuh arti dan mendebarkan bagi siapapun yang akan memulai hidup baru. Saat itu pukul sembilan malam. Doa ‘Barakallahu laka wa baaraka alaika wa jama’a bainakuma fii khairin’ mengalir dari para undangan buat sepasang pengantin baru. Pengantin wanita terlihat begitu cantik. Saat sang suami menemui terpancarlah cahaya dan sinar wudhu dari wajahnya. Duhai wanita yang lebih cantik dari rembulan, sungguh beruntung wahai engkau lelaki, mendapatkan seorang istri yang demikian suci, beriman dan shalihah.

Jam mulai mendekati angka dua belas, sesuai perjanjian saat sang suami akan membawa istri ke rumahnya. Sang suami memegang tangan istrinya sambil berkendara, diiringi ragam perasaan yang bercampur baur menuju rumah baru harapan mereka. Terutama harapan sang istri untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan keikhlasan dan ketakwaan kepada Allah.

Setibanya disana, sang istri meminta ijin suaminya untuk memasuki kamar mereka. Kamar yang ia rindukan untuk membangung mimpi-mimpinya. Dimana di kamar itu ibadah akan ditegakkan dan menjadi tempat dimana ia dan suaminya melaksanakan shalat dan ibadah secara bersama-sama. Pandangannya menyisir seluruh ruangan. Tersenyum diiringi pandangan sang suami mengawasi dirinya.

Senyumnya seketika memudar, hatinya begitu tercekat, bola matanya yang bening tertumbuk pada sebatang mandolin yang tergeletak di sudut kamar. Wanita itu nyaris tak percaya. Ini nyatakah atau hanya fatamorgana? Ya Allah, itu nyanyian? Oh bukan, itu adalah alat musik. Pikirannya tiba-tiba menjadi kacau. Bagaimanakah sesungguhnya kebenaran ucapan orang tentang lelaki yang kini telah menjadi suaminya. Oh…segala angan-angannya menjadi hampa, sungguh ia amat terluka. Hampir saja air matanya tumpah. Ia berulang kali mengucap istighfar, Alhamdulillah ‘ala kulli halin. "Ya bagaimanapun yang dihadapi alhamdulillah. Hanya Allah yang Maha Mengetahui segala kegaiban."

Ia menatap suaminya dengan wajah merah karena rasa malu dan sedih, serta setumpuk rasa kekhawatiran menyelubung. "Ya Allah, aku harus kuat dan tabah, sikap baik kepada suami adalah jalan hidupku." Kata wanita itu lirih di lubuk hatinya. Wanita itu berharap, Allah akan memberikan hidayah kepada suaminya melalui tangannya.

Mereka mulai terlibat perbincangan, meski masih dibaluti rasa enggan, malu bercampur bahagia. Waktu terus berlalu hingga malam hampir habis. Sang suami bak tersihir oleh pesona kecantikan sang istri. Ia bergumam dalam hati, "Saat ia sudah berganti pakaian, sungguh kecantikannya semakin berkilau. Tak pernah kubayangkan ada wanita secantik ini di dunia ini." Saat tiba sepertiga malam terakhir, Allah ta’ala mengirimkan rasa kantuk pada suaminya. Dia tak mampu lagi bertahan, akhirnya ia pun tertidur lelap. Hembusan nafasnya begitu teratur. Sang istri segera menyelimutinya dengan selimut tebal, lalu mengecup keningnya dengan lembut. Setelah itu ia segera terdorong rasa rindu kepada mushalla-nya dan bergegas menuju tempat ibadahnya dengan hati melayang.

Sang suami menuturkan, "Entah kenapa aku begitu mengantuk, padahal sebelumnya aku betul-betul ingin begadang. Belum pernah aku tertidur sepulas ini. Sampai akhirnya aku mendapati istriku tidak lagi disampingku. Aku bangkit dengan mata masih mengantuk untuk mencari istriku. Mungkin ia malu sehingga memilih tidur di kamar lain. Aku segera membuka pintu kamar sebelah. Gelap, sepi tak ada suara sama sekali. Aku berjalan perlahan khawatir membangunkannya. Kulihat wajah bersinar di tengah kegelapan, keindahan yang ajaib dan menggetarkan jiwaku. Bukan keindahan fisik, karena ia tengah berada di peraduan ibadahnya. Ya Allah, sungguh ia tidak meninggalkan shalat malamnya termasuk di malam pengantin. Kupertajam penglihatanku. Ia rukuk, sujud dan membaca ayat-ayat panjang. Ia rukuk dan sujud lama sekali. Ia berdiri di hadapan Rabbnya dengan kedua tangan terangkat. Sungguh pemandangan terindah yang pernah kusaksikan. Ia amat cantik dalam kekhusyu’annya, lebih cantik dari saat memakai pakaian pengantin dan pakaian tidurnya. Sungguh kini aku betul-betul mencintainya, dengan seluruh jiwa ragaku."

Seusai shalat ia memandang ke arah suaminya. Tangannya dengan lembut memegang tangan suaminya dan membelai rambutnya. Masya Allah, subhanallah, sungguh luar biasa wanita ini. Kecintaannya pada sang suami, tak menghilangkan kecintaannya kepada kekasih pertamanya, yakni ibadah. Ya, ibadah kepada Allah, Rabb yang menjadi kekasihnya. Hingga bulan kedepan wanita itu terus melakukan kebiasaannya, sementara sang suami menghabiskan malam-malamnya dengan begadang, memainkan alat-alat musik yang tak ubahnya begadang dan bersenang-senang. Ia membuka pintu dengan perlahan dan mendengar bacaan Al-Qur’an yang demikian syahdu menggugah hati. Dengan perlahan dan hati-hati ia memasuki kamar sebelah. Gelap dan sunyi, ia pertajam penglihatannya dan melihat istrinya tengah berdoa. Ia mendekatinya dengan lembut tapi cepat. Angin sepoi-sepoi membelai wajah sang istri. Ya Allah, perasaan laki-laki itu bagai terguyur. Apalagi saat mendengar istrinya berdoa sambil menangis. Curahan air matanya bagaikan butiran mutiara yang menghiasi wajah cantiknya.

Tubuh lelaki itu bergetar hebat, kemana selama ini ia pergi, meninggalkan istri yang penuh cinta kasih? Sungguh jauh berbeda dengan istrinya, antara jiwa yang bergelimang dosa dengan jiwa gemerlap di taman kenikmatan, di hadapan Rabbnya.

Lelaki itu menangis, air matanya tak mampu tertahan. Sesaat kemudian adzan subuh. Lelaki itu memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini, ia lantas menunaikan shalat subuh dengan kehusyuan yang belum pernah dilakukan seumur hidupnya.

Inilah buah dari doa wanita shalihah yang selalu memohonkan kebaikan untuk sang suami, sang pendamping hidup.

Beberapa tahun kemudian, segala wujud pertobatan lelaki itu mengalir dalam bentuk ceramah, khutbah, dan nasihat yang tersampaikan oleh lisannya. Ya lelaki itu kini telah menjadi da’i besar di kota Madinah.

Memang benar, wanita shalihah adalah harta karun yang amat berharga dan termahal bagi seorang lelaki bertakwa. Bagi seorang suami, istri shalihah merupakan permata hidupnya yang tak ternilai dan "bukan permata biasa". (Ummu Asyrof dari kumpulan kisah nyata, Abdur Razak bin Al Mubarak)

Diambil dan diketik ulang oleh Redaksi dari: Majalah Elfata edisi 08 volume 07 tahun 2007
disalin dari Jilbab.Online

Poligami bacalah,selengkapnya jangan setengah-setengah

Oleh: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah disempurnakan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- sebagai rahmat bagi seluruh hamba-Nya, sehingga agama ini tidak butuh tambahan, pengurangan dan otak-atik.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Ma`idah: 3)

Di antara rahmat Allah -Ta’ala- kepada hamba hamba-Nya, disyari’atkannya “poligami” (seorang laki laki memiliki lebih dari satu istri) berdasarkan dalil-dalil yang akan datang.

Namun berbicara masalah poligami akan mengundang berbagai tanggapan. Ada yang menanggapinya secara posotif dan ini datangnya dari ulama’ dan kaum beriman. Tetapi, ada pula yang menanggapinya secara negatif, bahkan menentangnya dengan keras di antara segelintir orang dari kalangan orang-orang munafiq, dan orang-orang yang jahil dari kaum wanita dan laki-laki. Berbagai alasan dilontarkan intuk menolak poligami, entah dengan alasan kecemburuan, emosi, atau tidak siap dimadu, bahkan dengan alasan ketidakadilan.

Mungkin dengan dasar inilah, ada seorang penulis wanita (kami tidak sebutkan namanya) berusaha menentang, dan menzholimi “anugerah poligami” ini untuk membela kaum wanita -menurut sangkaannya-, padahal sebenarnya ia menzholimi kaum wanita. Maka dia pun menuangkan “pembelaannya” (baca: penzholimannya) tersebut dalam bentuk tulisan yang dimuat oleh koran “Kompas”, edisi 11 Desember 2006, dengan judul, “Wabah itu Bernama Poligami”. Sebuah judul yang memukau bagi orang-orang jahil, terlebih lagi orang-orang munafiq. Namun hal itu sangat berbahaya bagi keimanannya, dan mengerikan bagi kaum beriman. Betapa tidak, dia telah berani menyebut poligami sebagai “wabah”, dan telah lancang berani menyebut syari’at yang Allah -Ta’ala- sendiri yang menurunkan-Nya sebagai “wabah”. Dia telah menghina, menentang dan mengingkari anugerah yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Kalau wanita ini menganggap poligami adalah wabah, berarti dia telah menganggap bahwa Allah -Ta’ala- telah menurunkan wabah kepada para hamba-Nya,“Subhanallah wa -Ta’ala- ‘an qaulihim uluwwan kabiran !!!” Maha Suci, dan Maha Tinggi Allah atas apa yang mereka ucapkan.

Wanita untuk memuntahkan kebenciannya, dan penolakannya kepada syari’at poligami, maka ia pun tidak tanggung-tanggung membawakan hadits untuk menguatkan pendapatnya. Padahal hadits itu tidaklah menguatkan dirinya sedikitpun, bahkan menolak dengan kejahilannya: Wanita itu membawakan hadits, bahwa dilaporkan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- marah ketika beliau mendengar putrinya Fatimah akan di poligami suaminya, Ali bin Abi Thalib. Beliau bergegas menuju mesjid, naik mimbar dan menyampaikan pidato, “Keluarga Bani Hasim bin Al-Mughiroh telah meminta izinku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali Bin Abi Thalib saya tidak mengizinkan sama sekali kecuali Ali menceraikan putri Saya terlebih dahulu”. Kemudian Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melanjutkan, “Fatimah adalah bagian dari-ku. Apa yang memggamggu dia adalah menggangguku dan apa yang menyakiti dia adalah menyakitiku juga”. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib tetap monogami hingga Fatimah wafat.

Setelah membaca hadits diatas, mungkin kita akan menganggukkan kepala dan membenarkan wanita tersebut. Namun Saking “pandainya” wanita ini, ia lupa riwayat lain dalam Shohih Muslim (2449), “Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Tapi, demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan putri musuh Allah selamanya”. Artinya, Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengharamkan atas umatnya sesuatu yang halal, yaitu poligami. Selain itu, Syaikh Al-Adawiy dalam Fiqh Ta’addud Az-Zaujat (126) berkata, “Di antara kekhususan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, putrinya tidak boleh dimadu. Ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (9/329)”.

Perlu diketahui bahwa para sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bahkan Ali sendiri berpoligami setelah Fathimah wafat. Ali bin Rabi’ah berkata, “Dulu Ali memiliki dua istri”. [HR. Ahmad dalam Fadho'il Ash-Shohabah (no.889)]. Ini menunjukkan bahwa poligami tetap diamalkan oleh para sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bukan bersifat kondisional !!

Lebih jauh lagi, Wanita itu mengomentari ayat berikut,

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa`: 3)

Wanita ini berkata, “Ayat tersebut turun setelah perang Uhud, dimana banyak sahabat wafat di medan perang. Ayat ini memungkinkan lelaki muslim mengawini janda, atau anak yatim, jika dia yakin inilah cara melindungi kepentingan mereka, dan hartanya dengan penuh keadilan. Jadi, ayat ini bersifat kondisional”.

Yang menjadi pembahasan kita dalam perkataannya adalah bahwa ayat ini bersifat kondisional, padahal seandainya ayat ini bersifat kondisional, justru ayat ini sangat memungkinkan untuk diamalkan pada zaman sekarang, karena melihat perbandingan jumlah wanita jauh lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki. Oleh karena itu, poligami di saat sekarang ini mestinya lebih disemarakkan! Selain itu, para ulama membuat kaedah, “Barometer dalam menafsirkan ayat dilihat pada keumuman lafazhnya, bukan pada kekhususan sebab turunnya ayat tertentu”. Jadi, dilihat cakupan dan keumuman ayat di atas dan lainnya, maka mencakup semua lelaki yang memiliki kemampuan lahiriah.

Kemudian, dia pun mengomentari firman Allah berikut -layaknya sebagai ahli tafsir, padahal ia bukan termasuk darinya-,

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa`: 129)

Wanita ini berkata dengan congkak, “Ayat ini dapat disimpulkan, Islam pada dasarnya agama monogami”. Pembaca -semoga dirahmati Allah- beginilah apabila menafsirkan ayat dengan penafsiran sendiri, tanpa mau melihat bagaimana para ulama tafsir ketika menafsirkan ayat-ayat Allah. Ayat ini justru menunjukan disyari’atkannya poligami. Dengarkan para ahli tafsir ketika mereka menafsirkan ayat di atas (QS. An-Nisa`: 129)

Ath-Thabariy -rahimahullah- berkata, “Kalian, wahai kaum lelaki, tak akan mampu menyamakan istri-istrimu dalam hal cinta di dalam hatimu sampai kalian berbuat adil di antara mereka dalam hal itu. Maka tidak di hati kalian rasa cinta kepada sebagiannya, kecuali ada sesuatu yang sama dengan madunya, karena hal itu kalian tidak mampu melakukannya, dan urusannya bukan kepada kalian”. [Lihat Jami' Al-Bayan (9/284)]

Syaikh Muhammad bin Nashir As-Sa’diy-rahimahullah- dalam menafsirkan ayat di atas (QS. An-Nisa`: 129), “Allah -Ta’ala- mengabarkan bahwa suami tidak akan mampu. Bukanlah kesanggupan mereka berbuat adil secara sempurna di antara para istri, sebab keadilan mengharuskan adanya kecintaan, motivasi, dan kecenderungan yang sama dalam hati kepada para istri, kemudian demikian pula melakukan konsekuensi hal tersebut. Ini adalah perkara yang susah dan tidak mungkin. Oleh karena itu, Allah -Ta’ala- memaafkan perkara yang tidak sangup untuk dilakukan. Kemudian, Allah -Ta’ala- melarang sesuatu yang mungkin terjadi (yaitu, terlalu condong kepada istri yang lain, tanpa menunaikan hak-hak mereka yang wajib-pent),

فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”. (QS. An-Nisa`: 129)

Maksudnya, janganlah engkau terlalu condong (kepada istri yang lain) sehingga engkau tidak menunaikan hak-haknya yang wajib, bahkan kerjakanlah sesuatu yang berada pada batas kemampauan kalian berupa keadilan. Maka memberi nafkah, pakaian, pembagian dan semisalnya, wajib bagi kalian untuk berbuat adil di antara istri-istri dalam hal tersebut, lain halnya dengan masalah kecintaan, jimak (bersetubuh), dan semisalnya, karena seorang istri, apabila suaminya meninggalkan sesuatu yang wajib (diberikan) kepada sang istri, maka jadilah sang istri dalam kondisi terkatung-katung bagaikan wanita yang tidak memiliki suami, lantaran itu sang istri bisa luwes dan bersiap untuk menikah lagi serta tidak lagi memiliki suami yang menunaikan hak-haknya”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 207)]

Lebih gamblang, seorang mufassir ulung, Syaikh Asy-Syinqithiy -rahimahullah- berkata dalam Adhwa’ Al-Bayan (1/375) ketika menafsirkan ayat di atas, “Keadilan ini yang disebutkan oleh Allah disini bahwa ia tak mampu dilakukan adalah keadilan dalan cinta, dan kecenderungan secara tabi’at, karena hal itu bukan di bawah kemampaun manusia. Lain halnya dengan keadilan dalam hak-hak yang syar’iy, maka sesuangguhnya itu mampu dilakukan”.

Jadi, dari komentar para ahli tafsir tadi, tidak ada di antara mereka yang berdalil dengan ayat itu untuk menolak poligami. Lantas kenapa wanita ini tak mau menoleh ucapan para ulama’ tafsir? Jawabnya, karena tafsiran mereka tidak tunduk kepada hawa nafsu wanita ini.

Adapun dalil dalil yang menunjukan disyariatkannya poligami antara lain, maka telah berlalu dalam (QS. An-Nisa`: 3).

Di antara dalil poligami, Seorang tabi’in, Sa’id bin Jubair, “Ibnu Abbbas berkata kepadaku: “Apakah engkau telah menikah ?” Aku menjawab ” Belum”. Ibnu Abbas berkata, “Maka menikahlah, karena sebaik baik manusia pada umat ini adalah orang yang paling banyak istrinya”. [HR. Al-Bukhariydalam Shohih-nya).

Satu lagi dalil poligami -namun sebenarnya masih banyak-, Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-"Termasuk sunnah jika seorang laki laki menikahi perawan setellah istri sebelumnya janda maka sang suami pun tinggal di rumah istri yang perawan ini selama tujuh hari maka sang suami tinggal dirumah istri yang janda selama tiga hari kemudian dia bagi". [HR Bukhariy dalam Ash-Shohih] berkata,

Seorang ulama’ Syafi’iyyah, Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- dalam Fatul Bari (9/10) berkata, “Dalam hadits ini, ada anjuran untuk menikah dan meninggalkan hidup membujang”.

Setelah kita mengetahui dalil-dalil yang menunjukan disyari’atkannya seorang muslim, laki-laki maupun wanita melakukan poligami. Jadi, kami nasihatkan kepada diri kami dan para suami dan calon suami untuk menikah hingga empat orang istri, jika dia sanggup untuk berbuat adil dalam perkara lahirah, seperti, pembagian malam, dan nafkah. Adapun adil dalam perkara batin (seperti, cinta, kesenangan jimak, perasaan bahagia bersama dengan salah satu diantara mereka), maka ini bukan merupakan syarat berdasarkan hadits-hadits dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama.

Terakhir, Kami nasihatkan kepada para wanita agar bersiap untuk dimadu dan berlapang dada untuk menerima anugerah poligami ini, serta tidak menentang syari’at poligami, karena ini adalah kekufuran. Samahatusy Syaikh Abdul Azizi bin Baz-rahimahullah- berkata, “Barangsiapa yang membenci sedikitpun dari sesuatu yang dibawa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, meskipun dia mengamalkannya, maka sungguh dia telah kafir. Allah -Ta’ala- berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka”. (QS. Muhammad: 9) [Lihat Nawaqid Al-Islam]

Sumber: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 07 Tahun I. Penerbit: Pustaka Ibnu Abbas. Alamat: Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP: 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab: Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi: Santri Ma’had Tanwirus Sunnah - Gowa. Editor/Pengasuh: Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout: Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)

(Sumber: http://almakassari.com/?p=44, judul asli: Anugerah yang Terzholimi)

~ by Muslimah on April 8, 2008.

nasehat yang baik bisa datang dari siapa saja

Sebuah nasehat yang baik bisa datang dari siapa saja, tidak harus dari ulama kondang atau tokoh kharismatik yang diidolakan oleh banyak orang. Terkadang, nasehat yang baik justru datang dari seorang manusia yang amat sederhana bahkan tidak dikenal oleh siapapun.

Inilah yang saya alami beberapa tahun lalu, ketika saya masih kuliah di Semarang. Pada sebuah liburan, saya bertandang ke rumah seorang teman di Bandung Selatan. Sebuah rumah yang sederhana, terletak di sebuah jalan setapak yang tidak terlalu luas.

Teman saya ini memiliki seorang ayah yang juga sederhana. Saya tidak tahu apa pekerjaan beliau. Tapi saat itu - saya masih ingat betul - dia mengenakan kaos oblong bercorak loreng-loreng. Sepertinya dia masih anggota TNI.

Dan dari ayah si teman inilah saya mendapatkan nasehat yang amat berharga tersebut.

Awalnya kami hanya berbincang akrab, ngobrol santai tentang banyak hal. Kejadian itu sudah berlangsung lebih dari sepuluh tahun lalu, jadi saya tak ingat apa saja yang kami perbincangkan (bahkan saya sudah tidak ingat siapa nama beliau). Hanya nasehat berharga itulah yang tetap saya ingat hingga hari ini.

Bapak yang sederhana itu berkata, “Di dunia ini kita bisa menemukan demikian banyak nilai (ajaran/kepercayaan) yang diyakini dan dianut oleh masyarakat. Tapi semua itu sebenarnya hanya terbagi dua. Ada nilai yang selalu berubah, ada juga nilai yang tak pernah berubah sampai kapan pun.”

Dia pun memberikan contoh tentang nilai-nilai yang terus berubah. “Di zaman dulu, para wanita berpakaian sangat sopan. Terbuka sedikit saja, langsung jadi bahan gunjingan. Kalau ada artis yang suka pamer aurat, langsung dijuluki Bom Sex. Tapi sekarang, tak ada lagi istilah Bom Sex karena hampir semua orang sudah biasa berpakaian serba terbuka.

Dalam hal pacaran pun begitu. Dulu pegangan tangan di tempat umum masih dianggap tabu. Tapi sekarang, berpelukan di depan umum pun sudah jadi hal biasa.

Itulah nilai-nilai budaya masyarakat. Ia akan terus berubah. Apa yang kita yakini hari ini belum tentu masih berlaku di masa depan.

Jadi, apakah kita harus menyandarkan hidup kita pada nilai-nilai yang tak pasti seperti itu? Tentu lebih baik kita menyandarkan hidup pada nilai-nilai yang sudah pasti, bukan?”

“Nilai apa yang Bapak maksud?” tanya saya.

“Nilai-nilai agama, tentu saja. Coba perhatikan. Sejak dulu, yang namanya aturan tentang aurat wanita selalu sama. Tak pernah berubah. Tak ada ceritanya, dulu wajib pakai jilbab tapi sekarang sudah tidak wajib. Sampai kapan pun ajaran dan nilai-nilai agama tak akan pernah berubah. Semuanya sudah pasti.”

Saya manggut-manggut, terkesima oleh ucapan yang amat cerdas itu.

* * *

Bapak yang sederhana ini sebenarnya hanya orang biasa. Dia bukan ustadz atau guru agama. Dari pengamatan saya selama satu hari berada di rumahnya, keluarganya pun sebenarnya hanya keluarga yang biasa-biasa saja. Kehidupan mereka lebih kurang sama dengan keluarga masyarakat Indonesia pada umumnya.

Tapi hari itu, dari mulut beliau saya mendengarkan sebuah nasehat yang amat berharga. Nasehat yang belum pernah saya dengarkan sebelumnya. Bahkan hingga hari ini, saya belum pernah mendengarkan nasehat yang sama dari orang lain. Nasehat itu benar-benar unik, berkesan, dan membekas di hati dan pikiran saya hingga hari ini.

Dan perjalanan waktu pun membawa saya pada kesimpulan bahwa nasehat Bapak yang sederhana itu adalah sebuah kebenaran yang amat nyata. Saya teringat pada kasus RUU APP yang marak dibicarakan di Indonesia beberapa waktu lalu. Saat itu, banyak orang yang berdebat mengenai “definisi pornografi”. Banyak orang yang berkata bahwa porno itu sangat relatif, tergantung orangnya, dan seterusnya.

Padahal, jika mereka mau melirik aturan agama, khususnya Islam, semuanya sangat jelas. Aturan dan definisi mengenai pornografi, aurat, dan sejenisnya, semuanya telah tertulis dengan amat tegas, jelas, dan pasti. Kalaupun ada perbedaan, itu hanya masalah khilafiah yang tak perlu dipertentangkan. Yang penting saling menghargai.

* * *

Hingga hari ini, nasehat Bapak yang sederhana itu masih saya jadikan salah satu prinsip utama di dalam hidup saya. Semoga, prinsip ini tetap saya pegang dan amalkan di sepanjang hidup saya.

Saya juga tak pernah berhenti berharap, semoga pahala demi pahala terus mengalir kepada beliau, karena dia telah menularkan sebuah nasehat yang benar-benar tak terlupakan.

Jakarta, 31 Oktober 2006
Jonru

Syaikh Nasehat dan Syaikh Mursyid Pembimbing Ruhani

Mawlana Syaikh Muhammad Hisham Kabbani ar-Rabbani

Zawiya Oakland, USA - Suhbat Tanggal 18 Februari 2007

A'udzu billahi min asy-syaitaan ir-rajiim, Bismillahi 'r-Rahmani 'r-
Rahiim
Nawaytul-arba' iin, nawaytul-'itikaaf, nawaytul-khalwah, nawaytul-
riyaada, nawaytus-suluuk, nawaytul-uzlah lillahi ta'ala fii hadzal-
masjid

Kemarin dalam sesi sebelumnya, kami menjelaskan tentang Awliya dan
khususnya Siapakah Para Wali itu? Ini bukan seperti pemikiran kita
kalau kewalian adalah sesuatu yang mudah. Kewalian mustahil
diperoleh dengan cara bersantai-santai dalam situasi yang sangat
rileks. Mustahil diperoleh karena Nabi Muhammad salallahu alayhi
wasalam pernah berkata, "laa raahata fiid-diin." . "Tidak ada
istirahat dalam agama." Artinya kau harus selalu melakukan lebih dan
lebih lagi.

Kalian tidak dapat berkata, "Aku melakukan ibadah shalat lima kali
sehari kini aku tidak perlu melakukan apa-apa lagi." Awliyaullah
tidak melakukan atau berkata seperti itu. Setelah mereka selesai
melakukan ibadah Solat Malam dan Solat Subuh, mereka mempunyai
awraad amalan dzikir lain untuk dikerjakan. Kemudian mereka
melaksanakan shalat zuhur dan antara waktu zuhur dan 'Ashar mereka
mengerjakan hal-hal lain. Mereka melakukan rangkaian ibadah terus
menerus dan rangkaian tersebut laksana sebuah mesin yang selalu
berputar.

Mesin itu bukan hanya sekedar berputar tapi saat berputar, ada
sebuah poros yang mirip dengan pergerakan bumi. Awliyaullah
dideskripsikan sebagai bumi, karena bumi dicengkram bersama-sama
semua yang hidup maupun yang telah meninggal. Seorang wali adalah
seorang pewaris dari semua yang ditaruh dibumi, meliputi mereka
semua, karena mereka semua ada didalamnya. Allah (swt) melarang bumi
untuk memakan jasad para Awliya, sebagaimana Dia sebutkan tentang
jasad para Nabi. Tidak bisa. Bahkan bumi tidak bisa memakan jasad
para pewaris Nabi Muhammad saw yaitu Awliya Allah.

Bumi tidak bisa memakan jasad para wali atau awliyaullah, bahkan
bumi juga tidak bisa memakan nisan kayu mereka; kalian dapat
menemukan mereka seakan kalian baru menguburkannya. Subhanallah.
Berapa banyak kejadian yang aku lihat dengan mata kepala sendiri
saat mereka membuka kuburan-kuburan berusia 500 tahun, 600 tahun,
700 tahun. Kalian lihat mereka seperti baru hari ini dikuburkan. Aku
menyaksikan dua dari itu tapi aku banyak mendengar tentang kejadian
ini.

Ada awliya lain dengan tingkat lebih tinggi. Mereka tidak ingin
dikenali meskipun mereka adalah wali, jadi mereka membolehkan bumi
untuk memakan tubuh mereka. Mereka awliyaullah yang tersembunyi
bahkan mereka tidak ingin disebut-sebut karena mereka tidak
tertarik. Ketertarikan mereka hanyalah kepada Allah swt semata -
itulah tingkat Awliyaullah yang sangat tinggi. Inilah yang mereka
suka dan jika Allah (swt) menyukai, Dia menjaga mereka dan bumi
untuk tidak memakan jasad mereka.

Nabi Muhammad salallahu alayhi wsalam mewariskan, memberikan
pengetahuan itu kepada awliya. Wali yang hidup mampu mewarisi dari
setiap Wali yang telah wafat. Itulah kenapa pengetahuan mereka
semakin meningkat. Barang siapa yang hidup maka dia mewarisi dari
semua yang sudah wafat sebelumnya. Seperti banyak wali yang telah
wafat sebelumnya, mereka mewarisi dari wali sebelum mereka. Ini
tidak tersembunyi karena awliyaullah saling berkomunikasi. Mereka
mengelilingi siang dan malam mereka seperti bumi yang berputar pada
porosnya, apakah poros mereka?

Ada satu yang aku sebutkan kemarin. Itulah poros utama yang dapat
mereka putar dan itulah turbin bagi mereka. Sebagaimana sang Nabi
(saw) berkata, "ad-diinu nasiiha," - "Agama dalam makna umum adalah
nasehat". Terserah kau ingin mengambil nasihat itu atau tidak, namun
ketika kau semakin dalam mencari poros dari turbin mesin, maka ini
bukan lagi nasihat. Sebagian orang mengikuti dan sebagian lagi
tidak; sebagian orang tidak suka mengikuti. Nabi Muhammad saw
berkata, "ad-diinu nasiiha" - jadi, jika kau ingin mengetahui apakah
agamamu baik bagimu atau tidak, maka pergi dan mintalah nasihat.
Dari manakan kalian mendapatkan nasihat ini? Kalian mendapatkannya
dari seorang guru. Mungkin saja guru tersebut adalah seorang guru
`ilm azh-zhaahir, itulah` ilm azh-zhaahir, diluar pengetahuan: apa
yang dapat kau lihat - bukan hanya `ilmu Syari`ah saja

Tetapi jika kau ingin pergi ke turbin atau mesin dimana Awliyaullah
pergi kemudian tidak ada lagi pilihan, kau harus mengikuti -
ittiba`. Mengikuti langkah-langkah kaki - dari manakah itu
datangnya? Itu datang dari "Cinta". Turbin dan poros untuk
awliyaullah adalah Cinta." Qul in kuntum tuhibbuuna Allah fat
tabi'uunii yuhbibkumullah" .
" Katakanlah Wahai Muhammad: "Jika kamu benar-benar mencintai Allah,
ikutilah aku (Muhammad), niscaya "Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu. " [Ali 'Imran (3):31]. Allah (swt) berfirman, "Ya
Muhammad, katakan kepada mereka, beri mereka rahasia!" Tidak ada
lagi nasihat disini, Dia yang mengatakannya kepadamu, tidak seperti
sang Nabi saw yang mengatakan, "ad-diinu nasiiha."

Dia berfirman, Qul, ya Muhammad (saw) "Katakan!" Ini adalah sebuah
syarat; jika kau benar-benar mencintai Allah (swt), lalu apa
mesinnya? Mesinnya adalah Cinta. "Jika kau benar-benar mencintai
Allah," ada sebuah syarat disini: "Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, maka ikutilah aku," "fat tabi'uunii, ittiba." Atau ikutilah
Muhammad saw.

Kalian melihat di beberapa bandara udara, ada sebuah mobil dan
tertulis "FOLLOW ME" "Ikutilah aku." Pesawat yang baru mendarat
mengikuti mobil itu sampai pesawat berada disuatu wilayah yang
dituju dan para penumpang turun. Kini, kalian mempunyai jalur
pesawat jet dimana para penumpang turun, tapi sebelumnya mereka
harus mengikuti mobil yang bertuliskan Follow Me, "ikuti aku." Jika
kalian tidak mengikuti maka kalian bisa tersesat, salah arah.
Kemudian Allah (swt) memberitahukan kepada manusia, "Ya Muhammad,
katakan kepada mereka untuk mengikuti-Ku "

Qul bi fadlillahi wa bi rahmatihi fa bi-dzaalika fal-yafrahuu, huwa
khairum mimma yajma`uun. Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan
rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah
dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan". [Yunus (10):58]. Ucapkan Wahai Muhammad, di lain
kesempatan, "Dengan Kemurahan dan kasih sayang Allah biarkan mereka
bergembira." Biarkan mereka bersenang-senang dan ulama dari Ummah
ahl as-Sunnah wal-jama`ah berkata bahwa wa bi rahmatihi merujuk
kepada sang Nabi Muhammad salallahu alayhi wasalam - bahwa dialah
sang Nabi (saw) - dan mereka mengambil ayat Qur'an [sebagai bukti
kebenaran] untuk Merayakan Mawlid an-Nabi (saw), dan katakanlah
bahwa Allah (swt) memerintahkanmu untuk bersenang-senang karena
Allah (swt) mengutus Nabi (saw) sebagai rahmat.

Jadi, kita harus bergembira karena "Cinta" itu telah dikirimkan
kepada kita. Apakah ketika kalian bergembira berarti kalaian hanya
duduk seperti itu dan berkata "Aku bergembira?" Saat kalian
bergembira, kalian melakukan nyanyian, tarian dan salawat Nabi saw
dan beberapa gerakan yang menunjukkan kegembiraan hati kalian.. Jadi
dalam rahmat Allah (swt) kalianpun boleh bergembira dan menari.
Ketika seorang Baduy bertanya kepada Nabi Muhammad saw, "Kapankah
Hari Kiamat?" sang Nabi (saw) bertanya, "Apa yang kau siapkan untuk
Hari Kiamat?" Dan Badui itu menjawab menjawab, "MenCintamu Ya
Nabi,". Maka Nabi Muhammad saw menjawab, "Itu cukup." Kemudian Abu
Bakr as-Siddiq ra menari dan dia berputar-putar dengan bahagia.
Kecintaan terhadap sang Nabi saw cukup untuk membawamu ke Surga.

Jika kau sungguh-sungguh mencintai Allah swt, ikuti sang Nabi saw.
Kemudian kau akan sungguh-sungguh mencintai Allah (swt). Terutama
bagi kaum muda, mereka harus menjaga pikiran mereka dengan figure
kepahlawanan Nabi Muhammad saw dan kebesaran beliau. Kita tidak lagi
berada dalam ad-diinu nasiiha. Itu untuk khalayak umum. Untuk
Awliya adalah `Ittiba. Apakah `ittiba? - Melakukan shalat lima
waktu? Bukan hanya itu, kau wajib mengerjakan shalat 5 waktu tetapi
Nabi (saw) mengerjakan shalat hingga kakinya bengkak. Beliau shalat
di siang dan malam hari.

A'udzu billahi min asy-syaitaan ir-rajiim [Syaikh Sahib membaca
ayat pertama Surah Al Muzzammil] : " Yaa ayyuhal Muzammil. Qumil
laial illaa qaliilaa. Nisfahuu awinqush minhu qaliilaa. Au zid
`alaihi wa rattilil qur-aana tartiilaa".

Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang)
di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya) , (yaitu) seperduanya
atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua
itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan. (Al
Muzzammil :1-4 )

Itu artinya kalau untuk Nabi Muhammad saw seluruh malam beliau
adalah dalam ibadah. Jika malam beliau adalah ibadah, bagaimana
dengan siang hari beliau? Orang-orang tidur dimalam hari - mereka
tidak melakukan ibadah malam. Jika Allah (swt) berfirman kepada sang
Nabi (saw) untuk beribadah dimalam hari, tentu artinya kau juga
beribadah disiang hari. Jadi sesungguhnya, 'ittiba berarti melakukan
apa saja yang sang Nabi (saw) lakukan. Mereka tidak punya waktu
untuk bicara kepadamu; mereka semua sepanjang waktu melakukan
ibadah. Ibadah itu juga bukan hanya shalat tapi duduk berdampingan
dengan seseorang ; itulah bagian terberat bagi Awliya Allah.

Bagi Awliya Allah duduk berdampingan dengan orang lain sangatlah
berat. Karena saat mereka duduk, mereka harus membawa beban-beban
orang-orang tersebut. Mereka harus membawanya. Awliyaullah mempunyai
energi sangat besar. Mereka mempunyai energi sangat besar yang
mereka peroleh dari ibadah-ibadah mereka di malam dan siang hari.
Dan mereka yang datang kepada Wali Allah membawa energi negatif dari
manusia. Mereka tidak berkata "tidak". Mereka mendengarkan dan
mendengarkan dan kadang kala mereka tidak mau duduk dengan orang
lain karena mereka sepenuhnya ambruk.

Satu bulan yang lalu sebelum aku mengunjungi Mawlana di Siprus,
mereka menelpon dari Siprus. Putraku berkata, "Oh, kakekku sangat
sakit." Padahal kemarin Mawlana Sayikh Nazim qs baik-baik saja;
kami sudah bicara sehari sebelumnya. Kami menelpon balik dan tidak
bisa bicara dengan Mawlana Syaikh Nazim qs; mereka berkata beliau
sedang duduk dan tidak bisa bergerak. Mereka berkata beliau seakan
sedang pingsan. Kemudian kami mengatur agar Hajjah bicara dengan
beliau. Beliau berkata, "Aku tidak berenergi lagi." Mengapa? Beliau
berkata, "Aku tidak akan menyebutkan siapa, tapi sebuah delegasi
mufti dari sebuah Negara di Eropa, bukan di Eropa tapi ditempat lain
mereka datang kepadaku dan duduk bersamaku selama 5 jam.

Mereka penuh dengan energi negatif. Semua bicara kepadaku dan aku
tidak mampu bergerak lagi." Jadi, beliau harus istirahat. Inilah
sebuah contoh bagaimana, untuk awliyaullah, mereka duduk dengan
orang lain adalah ibadah. Mereka menjadikannya lebih mudah pada
orang itu dan menjadikan diri mereka berada dalam kesulitan karena
kecintaan kepada Allah (swt) dan kecintaan kepada sang Nabi (saw).
Nabi Muhammad (saw) bersabda, "idkhaal as-suruur fii qalb al-abd min
al imaan" - Untuk menjadi hamba Allah (swt) adalah dari iman. Wali
itu berusaha membawa energi negatif dari mereka dan memberikan
mereka energi positif agar mereka senang. Itulah mengapa pertemuan
Mursyid dengan orang-orang atau dengan murid adalah sebuah bentuk
ibadah.

Nabi Muhammad salallahu alayhi wasalam pernah berkata bahwa
tersenyum kepada saudaramu adalah sadaqah. Oleh karenanya, senyum
mereka adalah sebuah bentuk ibadah. Allah swt menjadikan mereka
sebagai mesin bagi Ummah. Perhatikan apa yang dikatakan Sayyidinna
Bayazid al-Bistami qs dalam munajaatnya. Beliau berkata, "Wahai
Allah, nafsku, egoku, diriku tatlub al-ladha, ladhat ad-dunya".
Jadi jika diri kita menginginkan kesenangan dunya lalu kita tahu
bahwa kita bukanlah apa-apa.

Karena banyak perenungan, kontemplasi, itulah yang menjadikan
mereka awliya besar, masya-Allah. Mereka hanya tahu sedikit, lalu
mereka menjadi awliya. Awliya tidak perlu tahu apa-apa - Allah akan
memberikannya. Ini bukan apa yang kau pelajari dari kertas-kertas
(buku) - inilah inspirasi yang datang ke hati. Beliau berkata, "Ya
Allah, nafsuku menginginkan kesenangan dunya dan jiwaku tatlub
ladhat al-jannah, mencari kesenangan surgawi." Jadi apa yang pertama
kali beliau ucapkan? "Diriku menginginkan kesenangan dunya dan
jiwaku menginginkan kesenangan jannah." Kini Abu Yazid bertanya
kepadamu. Ini bukan lagi diri yang menginginkan kesenangan dunya
atau jiwa menginginkan kesenangan jannah, tapi mohonlah, "Kau-lah
puncak tujuanku, anta maqsuudi, Aku mohon kepada-Mu, Ilaahii."

Beliau juga berkata,, "Ya Allah, aku memohon tiga hal ini: egoku
meminta kesenangan dunya dan jiwaku meminta kesenangan jannah dan
aku menginginkan- Mu."
"Namun jika aku mencari kesenangan dunya, aku seperti seorang
pembangkang dan jika aku mengikuti kesenangan jiwa, aku akan tulus
seperti orang-orang yang menginginkan akhira dan jika aku mengikuti
apa Abu Yazid qs inginkan, aku akan berada ditengah-tengah
mujahidiin dalam jalan-Mu."

Bukan seperti mujahidiin zaman sekarang, berperang, tapi berperang
dalam jalan perjuangan. Ketiga hal ini mempunyai kehendak
didalamnya. Artinya, "Aku tidak tunduk kepada-Mu dengan benar, Ya
Rabbi. Jadi, jika aku memohon kepada-Mu, aku masih memohon." Ini
adalah iraada: sebuah hasrat. Ini masih belum menunjukkan kepatuhan.
Kepatuhan, taslimiyya, tidaklah mempunyai sebuah kehendak didepan
kehendakmu. Artinya "Aku tersesat. Lalu beliau menundukkan
kepalanya," aku tidak akan berkata apa-apa, Kau lakukan apa yang Kau
inginkan." Dia tidak tahu harus berbuat apa, dia terhunjam.
Ketiganya mempunyai sebuah kehendak didalamnya dan dia tidak ingin
mempunyai satu kehendak pun.

Pada saat itu, spiritualitas Syaikhnya muncul. Siapkah Syaikh
beliau? Sayyidina Ja`far as-Saadiq qs. Beliau muncul dan
berkata, "Ya Aba Yazid! Munajaat-mu telah didengar. Munajaat-mu
telah mencapai sang Nabi (saw) dan Nabi Muhammad saw mengirimnya ke
Hadirat Ilahiah. Munajaat-mu telah mencapai dimana itu harus
dicapai. Kini, kau harus menghentikan kehendak-kehendakmu . Tiga
buah kehendakmu telah mencapai hadirat ilahi dan kini kau menunggu
kehendak apa yang datang dari Allah (swt); apa yang Allah (swt)
inginkan." Kini, kau tahu bahwa kau harus patuh kepada Kehendak
Allah (swt) dan tidak ada apa-apa dalam genggamanmu.

Kau yakin akan hal itu. Itu artinya bahwa kau telah mati. Kau telah
wafat; kau tidak pernah patuh kepada Allah (swt) kecuali ketika kau
wafat. Kau masih melawan. Namun ketika kau telah wafat maka tamat"
itulah kepatuhan penuh. Tidak ada cara lain; kau telah tamat. Allah
(swt) memanggilmu. Itulah kepatuhan. Awliyaullah, seperti Sayyidina
Bayazid al-Bistami, mati sebelum mati. Mereka telah mati di dunya.
Jadi, meskipun awliyaullah itu masih hidup, mereka mewarisinya.

Aku tidak akan menjelaskan dengan detil hal tersebut; nanti kita
akan masuk ke pembahasan itu dilain waktu. Awliyaullah yang diwarisi
kini masih hidup dan mewarisi rahasia-rahasia tersebut. Ini tidaklah
mudah untuk datang dan berkata kepada semua orang bahwa kalian
adalah wali. Tidak semua orang wali - semua orang bergerak digaris
tersebut tapi mencapai kewalian tidaklah begitu mudahnya. Mungkin
saja setiap orang berusaha namun ini tidak dapat diakses dengan gaya
hidup santai seperti ini.

Awliyaullah mempunyai skala-skala yang sangat halus. Kau tahu para
tukang emas, mereka mempunya skala yang sangat halus, untuk
memastikan bahwa mereka tidak akan kehilangan semili grampun emas
mereka, karena perhiasan emas sangatlah mahal. Skala untuk
Awliyaullah begitu halus sehingga mereka bahkan dapat mengukur berat
seutas rambut. Jika berat seutas rambut lebih berat disatu sisi,
lebih berat pada sisi jahat dibandingkan sisi baik, maka mereka
tidak akan pernah mencapai wilayah. "Sisi jahat" bukan diartikan
sebagai perbuatan jahat, tapi itu artinya bahwa jika kepatuhan
mereka belumlah 100%, maka mereka tidak akan mencapai tingkat
kewalian. Oleh karenanya ini tidaklah mudah; kewalian ini sangat
sulit.

Seperti yang saya katakan kemarin, kewalian tidak bisa diperoleh
kecuali dengan suluk yaitu berdisiplin dalam ibadah dengan
mengucilkan diri dan perintah-perintah berbeda yang datang dari
satu perintah ke perintah lainnya dan ini bukanlah sesuatu yang kau
baca, pelajari dan kemudian pada akhir tahun, kau lulus ujian, dan
menjadi seperti yang mereka lakukan dalam pelajaran-pelajaran di
sekolah-sekolah Islam atau seperti kau menjadi seorang dokter.
Dalam spiritualitas tasawwuf, tidak ada Doktor tidak ada PhD. Adakah
sesuatu diatas PhD? Tidak ada? Tidak ada kecuali kau melakukan
bidang lain dan bidang lain, seperti saudara kita disini yang
mempunyai 10 jenis PhD dalam sepuluh jenis ilmu yang berbeda. PhD
Ada satu dan kemudian selesai dan hilang.

Dalam kewalian atau kewilayahan tidak ada gelar PhD. Spiritual itu
selalu naik meningkatkan dan selalu bertambah tinggi dan tinggi.
Jadi awliyaullah dalam setiap kesempatan jika kau suka kami
mengatakannya dalam setiap decade atau dalam setiap periode waktu,
pengetahuan mereka semakin meningkat. Jika kita menghadiri sebuah
pertemuan, disana tidak ada nasiha. Bimbingan bukanlah nasihat.
Nasehat adalah satu hal dan bimbingan adalah hal yang lain.
Bimbingan seperti dia yang membimbingmu melintasi sebuah kanal atau
menavigasimu melalui teknisi teknologi - kau dapat menelpon mereka
dan kau tidak tahu bagaimana menggunakan komputermu, jadi kau
melakukan ini dan menekan tombol ini, menekan tombol itu. Kau dapat
melakukan sendiri? Tidak? Cobalah. Kau tidak bisa melakukannya
sendiri.

Ada Syaikh yang memberikan nasehat dan ada Syaikh atau Wali yang
memberikan bimbingan. Syaikh yang memberikan nasehat, maka bila
nasehat tersebut akan kalian terima atau kalian tolak, maka mereka
tidak peduli lagi. Tetapi Syaikh atau Wali yang memberikan
bimbingan, maka dia akan membimbing kalian suka atau kalian tidak
suka, dia akan mengawasi kalian dan menjaga sampai kalian sanggup
untuk melakukannya sendiri, dia menjaga kalian sadar atau pun kalian
tidak menyadarinya.

Jadi, awliya seperti teknisi teknologi. Mereka membimbingmu kemana
hendak pergi. Mereka berkata, "Baiklah, tekan tombol ini." Kita
mempunyai tombol - 366 buah tombol dalam tubuh kita: 366 buah
tombol. Jika satu titik tidak seimbang, maka seluruh sistem tidak
seimbang, baik spiritual maupun fisik. Grandsyaikh menjelaskannya
dengan lengkap pada satu waktu. Jadi, titik-titik tekan ini, ketika
kau menekannya - tidak seperti dalam pengobatan China atau
chiropractor (orang yang menyembuhkan penyakit dengan pengobatan
tulang punggung .penerj) dan lainnya - tapi ada tombol-tombol
spiritual yang dapat kau tekan seperti pada komputer.

Ada titik-titik yang kau tekan pada komputer dan segera energi
pindah disana dan dengan segera chip ini, silikon (apapun sebutan
yang kalian gunakan) ini, membuat energi ini bergerak; dari "0"
ke "1" atau dari "1" ke "0". Tekan mereka untuk memberikan angka
berbeda. Awliyaullah menaruh tekanan pada jiwamu ketika mereka
membimbingmu agar kau akan meraih apa yang kau butuhkan; dimana kau
butuh digapai. Ketika mereka menekan sebuah tombol, beberapa
inspirasi muncul dalam hati: itulah mengapa kau memperoleh
inspirasi. Jika kau tidak mengikuti seorang guru, atau pembimbing,
kau tidak akan mendapat inspirasi seperti jika kau mengikutinya.

Kalian membutuhkan inspirasi­- inspirasi ini untuk mengatur komputer
yang ada dalam hatimu. Beliau mengatakan bahwa pertemuan-pertemuan
yang membawa murid ke tingkat yang lebih tinggi adalah ibadah.
Beliau berkata, "Jangan dengarkan siapa yang bicara -dengarkan apa
yang dibicarakan didalamnya." Beliau juga berkata, "Aku tidak
membuka mulutku jika sang Nabi (saw) tidak memberikan inspirasi ke
dalam hatiku. Apapun yang diinspirasikan dan informasi yang datang,
aku membacanya bagi kalian; bukan hanya membacanya tapi aku akan
membawamu dan menaikkanmu ke tingkat inspirasi tersebut." Apapun
inspirasi atau informasi itu yang beliau bicarakan tentang surga
atau dalam ibadah, kau akan dinaikkan ke tingkat itu meski kau hanya
mendengarkan. Itulah mengapa sang Nabi (saw) berkata, "taffakaru
sa`atin khairan min `ibaadati saba`iin sannah - untuk memikirkan
sesuatu yang Allah (swt) ciptakan lebih baik dibandingkan beribadah
selama 70 tahun."

Hal itu tidak berarti bahwa kalian tidak perlu beribadah tapi itu
artinya bahwa dengan pikiran dan tafakkur kau akan memperoleh
kenaikan tingkat-tingkat tinggi. Artinya bahwa asosiasi-asosiasi
seperti itu akan membawamu begitu cepat untuk memperoleh kenaikan
tingkat-tingkat spiritual yang tinggi.

Seperti seekor semut yang butuh mencapai dari east coast ke west
coast, dari timur ke barat. Barapa tahunkah dia dapat
menyelesaikannya? Ia mungkin akan mati sebelum mencapai tujuannya.
Baiklah, jangan memakai analogi itu, pergilah dengan menunggang
seekor kuda. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk pergi dari
timur ke barat - atau pergi dengan pesawat terbang. Awliyaullah
tidak membawamu hanya dengan kecepatan cahaya. Kecepatan cahaya,
adalah satu detik dari kecepatan yang mereka pakai untuk membawamu.
Kecepatan cahaya kira-kira, (kami tidak mau lebih dalam membahas
ilmu fisika/alam) , tergantung, tapi dia mengoreksi saya sebelumnya
ini 300 kilometer per detik. Awliyaullah mungkin membawamu dengan
kecepatan 3 juta kilometer per detik

Mereka tidak punya batasan. Itu tergantung berapa banyak kau sanggup
bergerak. Tentu saja, kita adalah "0" dan tidak dapat bergerak namun
dengan dorongan mereka, seperti ketika mereka mendorong shuttle naik
dengan roket. Shuttle tidak bisa bergerak sendiri, jadi apa yang
mereka lakukan dengannya? - Dengan sebuah pendorong. Merekalah
pendorong, para awliyaullah. Mereka membawamu naik dan bergerak
dengan kecepatan mereka namun kadang-kadang kau tidak dapat pergi
dengan kecepatan mereka karena kau belumlah siap. Ketika kau sudah
mencapainya, maka tabir-tabir akan terkuak, dan kita lanjutkan
dilain waktu dengan harapan dapat menguak tabir-tabir ini.

Saya berusaha menyelesaikannya semua sohbet hari ini, tapi kita
semua sudah membahas suhba Grandsyaikh ini hampir 10 buah sohbet dan
hari ini aku berusaha menyelesaikan 7 buah halaman tapi aku hanya
selesai setengah halaman. Inilah pengetahuan yang tidak kita ketahui
namun pertemuan-pertemuan seperti ini penting dilakukan terus
menerus. Ketika pertemuan-pertemuan seperti ini dilakukan dan
selesai, kemudian kau duduk pada suatu tingkat. Bagaimanapun, jika
kau bergerak terus menerus, kemudian kau ada ditangga yang mereka
gunakan untuk naik ke atas. Kadang-kadang kau menaiki tangga 10 atau
15 langkah dan lalu kau berhenti. Kemudian, setelah 10 atau 15
langkah kau lanjutkan, namun anak tangganya bisa saja membusuk dan
patah, jadi kau harus mulai dari awal lagi.

Itulah mengapa sohbet atau pertemuan dengan murid sangat penting
untuk Syaikh. Itulah mengapa catatan-catatan yang kalian tulis
menjadi penting. Jika kau berhenti, maka lalu kalianpun berhenti
untuk naik. Itulah mengapa penting untuk mencatat atau mendengarkan
sohbet yang diberikan seperti itu akan menjagamu selalu naik ke
atas. Sebagian orang berkata, "Oh, aku sudah mendengar itu. Aku
tidak butuh mendengarkannya lagi." Kau harus tetap mendengarnya.
Mungkin saja ketika aku membaca buku catatan ini lebih dari 15 kali
dan setiap kali aku membacanya, manifestasi yang datang berbeda:
tidak pernah sama.

Itulah mengapa Grandsyaikh Abdullah Faiz qs dan Mawlana Syaikh Nazim
qs berkata, "Jika aku menyebutkan sebuah cerita dan aku menyebutkan
hal yang sama seribu kali, maka itu datang dengan sebuah manifestasi
atau penampakan berbeda setiap kalinya dan itu datang dengan sebuah
tajalli berbeda setiap kalinya. Tidak pernah sama. Seperti ketika
kau mengalami kenaikan, maka maknanya berubah. Kau ada ditingkat
ini, tingkat primer, lalu kau memahami satu makna. Dan kau pergi ke
sekolah sekunder dan kau memahaminya dengan berbeda. Kau pergi ke
sekolah menengah dan kau akan memahami dengan cara berbeda.

Satu waktu seorang Imam naik ke atas mimbar dan melantunkan Fatiha
dan menjelaskannya. Dia kemudian berkata bahwa ini makna Fatiha bagi
khalayak umum. Kemudian dia membaca Fatiha dan menjelaskannya dan
dia berkata, "Ini bagi ulama." Lalu dia membacanya lagi dilain waktu
dan menjelaskannya dan berkata, "Penjelasan ini bagi Awliya." Lalu
dia membacanya lagi dan menjelaskannya dan berkata, "Penjelasan ini
dari khawaas min al-khawaas min al-awliya -Yang elit dari yang
elit." Lalu dia membacanya lagi dilain waktu dan tetap memberikan
penjelasan dan makna dan berkata, "Penjelasan itu bagi seorang yang
sedang duduk dibalik pilar dibelakang sepatu-sepatu. Dia adalah
seorang Wali Qutb. Dan yang menjelaskan lebih tinggi dibandingkan
Qutb. Mereka lari untuk melihat siapakan sang Qutb tapi dia
menghilang dan mereka tidak dapat melihat siapakah yang lebih tinggi
dari Qutb.

Tergantung pada tingkat yang dapat kau pahami. Bukalah Qur'an Suci
dan perhatikan bagaimana mereka menjelaskannya. Mereka mempunyai
satu penjelasan dan lalu mereka mempunyai penjelasan lain di catatan
kaki. Kemudian lihat ke dalam buku-buku tafsir dan orang seperti ini
sangat banyak. Kami sudah menjelaskan Surat al-Fatiha dan ada berapa
banyak sesi, Taher? Ada 10 atau 15 sesi untuk menjelaskan Surat al-
Fatiha. Kami menjelaskan dengan cara yang sangat ringkas. Dan
Tafsir Suratu 'l-Ikhlaas ada 180 halaman, bisa didapat di
www.amazon.com atau di http://isn1. net/spcoonchofsi .html]

Kami pergi ke sebuah penerbit yang menerbitkan buku saya "Sufi
Science." Kami meminta kepada penerbit untuk menerbitkan tafsir ini.
Dia berkata tidak bisa. Kami bertanya, "Mengapa tidak bisa?" Dia
menjawab, "Banyak orang yang tidak akan mengerti." Mereka berkata
kalau kita harus mengubah seluruh cara menjelaskan. Apakah yang kau
pikirkan jika wali menjelaskan? Itu akan memberikan banyak sekali
makna. Sayang sekali, kita tidak punya lebih banyak orang yang
menjelaskan dan mereka pergi membawa naskah dan itu adalah
pengetahuan mendasar. Sayang sekali, kita tidak mencari Awliyaullah
untuk belajar. Semoga Allah mengampuni kita. Bi-hurmatil Fatiha.

Wa min Allah at Tawfiq

Wasalam, arief hamdani
www.mevlanasufi. blogspot. com
www.ariefdani. multiply. com

sampaikanlah

Ada beberapa prinsip yang perlu dipahami ketika kita berada dalam posisi sebagai pemberi nasehat. Pertama, hal penting yang perlu diperhatikan dalam menasehati saudara kita adalah masalah niat. Sampaikanlah nasehat semata-mata karena Allah, bukan karena tujuan keduniawian atau nafsu dan hasrat pribadi. Dengan begitu, kita tidak perlu berkecil hati bila nasehat kita tidak diterima dengan baik. Anggaplah respon negatif tersebut sebagai ujian kesabaran. Pengalaman mengajarkan, orang-orang yang kecewa –sekalipun karena nasehat yang terbuka dan korektif- pada waktunya akan menghargai dan berterimakasih dalam hati mereka. Mengapa berkecil hati, bukankah nasehat itu ibarat pohon kebaikan yang kita tanam dan kita tidak tahu kapan akan tumbuh dan berbuah (QS. Al-A’raf:164).

Kedua, agar sebuah nasehat efektif, tunjukkanlah cinta, kasih sayang dan keikhlasan saat memberi nasehat. Hindari nada bicara yang menunjukan kebanggaan, celaan, olok-olok atau cemoohan. (QS. Al-Hujurat:11)

Ketiga, masalah pemilihan waktu yang tepat, perlu juga diperhatikan. Akhlak Islam menuntut kita menyampaikan nasehat secara pribadi, bukan di depan khalayak ramai, untuk menghindari timbulnya perasaan yang tidak baik. Tujuan nasehat adalah memperbaiki kelemahan dan menyempurnakan kekurangan seseorang, bukan mengumumkan dan mensosialisasikan kesalahannya.

Keempat, bersabar dan berhati-hati dalam menggunakan perkataan dan memilih suasana emosi yang tepat. Kita tidak boleh tersinggung atau kecewa jika nasehat kita tidak berpengaruh bagi orang lain. Mungkin semua itu membutuhkan waktu.

Kelima, jauhi pertentangan yang sia-sia. Adakalanya, pendapat kita salah dan pendapat orang yang kita beri nasehat itu benar. Dalam situasi ini, ubahlah tindakan memberi nasehat menjadi ajang bertukar pikiran dengan penuh persaudaraan. Ingatlah, tanggung jawab kita hanyalah memberi nasehat, bukan hidayah. Sebuah nasehat tak akan bermanfaat kecuali hanya dengan izin-Nya dan bergantung pula pada kadar keimanan penerima nasehat. Allah Swt berfirman, ”dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzariyat: 55)

Keenam, jadilah cermin yang detil dengan memberi informasi yang lebih spesifik. Misalnya nasehat tentang kebersihan masih bersifat global dan umum. Agar saudara kita menyadari masalahnya, sebutkan hal yang spesifik, misalnya nafas yang kurang sedap atau pakai yang kumal.

Dalam manajemen nasehat diperlukan kepekaan dan kearifan yang tinggi agar mencapai hasil optimal (QS. An-Nahl:125). Presiden Lincoln, lebih dari seratus tahun yang lalu, berkata, ”Orang lebih mudah menangkap lalat dengan sirop daripada dengan cuka.” Sesungguhnya ajaran Islam telah lebih dulu menganjurkan umatnya agar ‘menangkap orang’ dengan keramah-tamahan yang manis, bukan dengan gertakan-gertakan yang kecut, sekalipun terhadap anak dan orang kesayangan yang paling dekat. Ini misteri hati yang sangat lemah dan rapuh dalam menghadapi kelembutan.

Allah Swt membekali Nabi Muhammad Saw dengan sifat kelembutan untuk berdakwah menghadapi umatnya (QS. Ali-Imran: 159). Itulah sebabnya dalam beberapa kisah, seringkali orang-orang yang diberikan nasehat oleh Nabi Saw meresponnya sambil mengungkapkan perasaan bahwa orang itu mencintai nabi. Sungguh ini bukan sekedar buah dari nasehat yang berlogika tajam dan cerdas, melainkan nasehat itu bersandar pada sifat kelemah-lembutan yang bisa langsung menyentuh dasar hati penerima nasehat.

Pelajaran ini, insya Allah membuka mata dan kesadaran kita akan dampak dari pemberian nasehat berbobot yang disampaikan dengan penuh kelembutan. Bila hal ini dilakukan secara berkelanjutan dan berulang-ulang, tanpa disadari, diantara pemberi dan penerima nasehat, akan tumbuh jalinan ikatan kasih sayang maupun persaudaraan yang semakin kuat.

Sejauh ini, bila interaksi nasehat menasehati terjadi diantara sesama laki-laki, maupun sesama wanita, dampak dari sikap lembut dan ramah selalu bernilai positif. Akan tetapi, fakta lapangan seringkali menunjukkan hal yang ’negatif’ bila aktifitas saling menasehati terjadi antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Kedekatan yang berawal dari motivasi yang ikhlas perlahan-lahan terkontaminasi oleh rasa ketertarikan yang berhembus dari nafsu dan hasrat pribadi. Nasehat yang mulanya mengalir tulus tanpa mengharapkan sesuatu kecuali ingin memperbaiki kekurangan saudaranya, sedikit demi sedikit bergeser menjadi pengharapan akan penerimaan yang lebih dalam. Perhatian yang berlebihan (dalam konotasi negatif) dan rasa ingin selalu dekat selalu bercampur dengan semangat keikhlasan saat ingin memberikan nasehat. Ketergantungan seketika tercipta, seolah-olah hanya sang penasehat yang mampu menasehati dirinya. Lebih jauh lagi, pengakuan verbal sebagai satu-satunya penasehat spiritual acapkali mendorong keinginan untuk memberikan ’wewenang’ tambahan kepada sang penasehat agar mau berperan lebih yaitu sebagai penasehat pribadi dalam rumah tangga.

Kita tidak hendak membahas pro dan kontra dari akibat aktifitas saling menasehati antara lawan jenis, kecuali sekedar menunjukkan benang merah hubungan sebab akibat antara sikap lembut dalam menasehati dan hasrat ketertarikan dari dorongan nafsu manusiawi. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa kita membutuhkan persiapan dan kewaspadaan ekstra di dalam hati ketika memutuskan untuk terjun dalam wilayah saling menasehati kepada seseorang (dakwah fardiyah) yang berbeda jenis dengan kita. Tanpa kematangan dan kekokohan spiritual yang mantab, sebaiknya urungkan niat anda untuk masuk terlalu dalam ke wilayah ini. Yang pasti, syetan selalu mengintai dan berupaya mencari celah-celah kelalaian dan kelengahan dalam semua aktifitas amal sholeh yang dilakukan oleh setiap hamba Allah. Semoga Allah Swt selalu melindungi kita semua dari godaan syetan yang terkutuk. Wallahu’alam bishawab

masa lalu

Sebaik apa pun seorang manusia itu dipandang oleh manusia lainnya ia tak ‘kan pernah menjadi malaikat, apalagi sosok yang patut disembah. Karena dalam dirinya, bukan cuma ada nalar dan nurani, di sana juga ada naluri. Dalam dirinya, bukan Cuma ada akal dan iman, namun juga ada syahwat. Sungguh, bukan cuma kekuatan dan kebijakasanaan yang ada di sana, namun juga kelemahan dan ketergelinciran serta berbagai keterbatasan. Ia tak ‘kan jadi sempurna dalam pengertiannya yang tanpa celah. Ia hanya jadi sempurna secara relatif sebagai manusia. Itulah batas akhirnya. Dan hidup, bagi mereka yang bijak, adalah perjalanan menuju ke sana. Tak ‘kan ada titik. Yang ada hanya koma, sampai kematian menutup perjalanan itu.

Ketika sedang duduk sendiri menghirup segarnya udara pagi, atau ketika berjalan kala senja menyaksikan bunga-bunga yang tengah mekar di pinggir rumah, atau ketika kita tenggelam dalam samudera perenungan dan instrospeksi menjelang tidur, kita sering tersenyum sendiri menatap masa lalu. Tak jarang, tawa kecil kita meledak dalam sunyi-gelapnya malam. Kala itu kita geli sendiri, malu pada waktu, pada manusia, pada Allah, karena dahulu kita pernah keliru, kita pernah salah bersikap, berkata-kata, kita…. pernah “tak merasa kita salah”. Tawa yang kadang beriring rintih tangis pengakuan. Dan setelah itu seakan ada yang berbisik genit ke telinga kesadaran kita: “Bodoh sekali kau dulu itu!”, katanya.

Lantas, apakah itu semua mampu buat kita tambah baik jadinya?! Tidak… Kar’na kesalahan tetaplah kesalahan sebelum ia diperbaiki atau dihapuskan, kekeliruan tetaplah kekeliruan sebelum ia dikoreksi, dan dosa tetaplah dosa sebelum ia ditaubati.

Maka benar juga kata orang-orang itu. “Lebih baik jadi mantan preman daripada mantan ustadz”. Apa sebabnya?!. Karena mantan preman -yang mungkin telah menjadi ustadz kini- adalah ia yang menertawai masa lalunya yang bodoh dan lucu sehingga akhirnya ia paham apa sejatinya makna hidup dan kehidupan. Sedangkan mantan “ustadz-ustadzan” -yang mungkin telah menjadi pendosa kini- adalah ia yang menjadi picik karena tak pernah mau berdialog dengan nuraninya sen..diri. Ke-ustadzan-nya dahulu hanyalah simbol yang dangkal, tanpa pernah ia coba membumikannya dalam kesadaran hidupnya. Lihatlah ia terperosok jauh sekali. Tapi kita berdoa, mudah-mudahan sebelum mati ia dapat “kembali”.

Tuan dan Puan sekalian yang saya sayangi. Beberapa waktu lalu Anda mungkin saja bertemu kembali dengan sahabat lama anda. Anggap saja namanya Budi. Dahulunya Anda anggap Budi adalah sampah bagi manusia. Kebiasaannya tak lain hanyalah bernafas -seringkali dengan “bantuan” asap rokok-, makan, tidur, menghabiskan harta orang tua, selalu mengucap “malas” untuk suatu yang bermanfaat dan tak berminat kecuali dalam urusan syahwat. Anda pernah menduga bahwa ia akan terus menghabiskan waktunya menuju ajal dengan selalu menyusahkan manusia di sekelilingnya.

Namun ternyata Anda terkaget-kaget tak menentu ketika pertemuan kembali itu. Apa yang terjadi?! Budi berubah kini. Hidupnya lebih cerah dari Anda. Bukan hanya masalah materi, tapi secara spiritual ia begitu hebat kini. Disaat Anda merasakan sempitnya hati karena jiwa yang kian kering gulita, ia datang memberikan Anda nasihat yang sejuk bagaikan embun di pagi hari. Disaat Anda galau dan bimbang bertanya-tanya maksud sebenarnya hidup dan kehidupan ini, ia datang dengan berbagai penjelasan yang membuat hati anda tenteram benderang. Awalnya Anda mungkin menolak, karena Anda merasa masa lalu Anda lebih baik darinya. Namun Anda lupa, bahwa Anda jarang sekali berintrospeksi, bahwa Anda tak pernah belajar dari kesalahan. Anda tersungkur. Dan harapan saya di masa depan Anda akan menertawai sikap Anda ini.

Sedangkan si Budi itu adalah pembelajar sejati, yang tak pernah ingin melewatkan sekecil apa pun kesalahan dalam hidupnya di masa lalu untuk dinobatkan menjadi guru dalam perjalanannya menuju masa depan. Tentu ada titik balik dalam hidupnya yang membuat menyadari kesalahannya dan menjadikannya begitu berbeda kini. Mungkin ia tersentak sadar ketika ayahnya meninggal dunia, atau ibunya, atau selepas kecelakaan, atau juga sehabis bencana yang menimpa dirinya, atau karena tak sengaja duduk mendengar kajian ketika maksud hati berlari pagi melintasi masjid kampus UGM hari minggu pagi, atau juga ketika ia membaca tulisan yang menggugah hati. Hmmm, memang setiap orang punya cara yang berbeda-beda ketika menyongsong hidayah. Semoga Anda mengalaminya sebaik dan sesegera mungkin.

Intinya yang ingin saya sampaikan dalam kesempatan ini adalah; Ambillah pelajaran dari setiap kesalahan yang Anda lakukan, dan berjanjilah bahwa Anda tak akan mengulangi kesalahan tersebut. Toh setiap manusia pernah salah, pernah terjatuh dalam dosa dan maksiat. Namun yang terpenting dalam perspektif Islam adalah sejauh mana seorang itu memiliki semangat untuk berintrospeksi dan bertaubat secara konstan. Sebab, taubat hakikatnya adalah proses perbaikan diri secara berkelanjutan. Dengan taubat itulah seorang dapat mengubah setiap kesalahan menjadi pelajaran mahal bagi kelanjutan langkah-lagkahnya menuju kehidupan yang berjaya dunia dan akhirat.

Sebab, taubat hakikatnya adalah proses perbaikan diri secara berkelanjutan. Dengan taubat itulah seorang dapat mengubah setiap kesalahan menjadi pelajaran mahal bagi kelanjutan langkah-lagkahnya menuju kehidupan yang berjaya dunia dan akhirat.

* Tulisan ini saya dedikasikan untuk seorang teman lama yang secara mengejutkan menemukan saya di dunia maya. Kami telah sangat lama berpisah. Dahulu saya sangat murah nasehat kepadanya. Namun kali ini justru ia yang telah hadir kembali dalam kehidupan saya dengan berbagai motivasi hidup, bermacam nasehat serta aneka renungan.

Ditulis dalam Spiritual Blogging, Talkative Soul, nasehat hati

Sabtu, April 12, 2008

ilmu sebelum berbicara

Begitulah bab yang ditulis oleh imam besar ahli hadits yang terkenal dengan sebutan Imam Bukhori dalam salah satu bab dari Kitab Al 'Ilmi. Beliau yang bernama Muhammad bin Ismail, karena kedudukan dan kehebatan ilmunya sehingga nama daerah asal beliau pun menjadi terkenal. Bahkan para ulama yang sezaman dengan beliau pun mengakui dan mengagungkan kemampuannya dalam ilmu hadits, sampai beliau dijuluki "Amirul Mu'miniin fil Hadist" itu adalah sebuah julukan yang agung yang disandang oleh beliau, terutama setelah para ulama mengetes langsung kemampuan dan kehebatan beliau dalam ilmu hadits dan hafalannya.

Dari bab yang beliau tulis kemudian mengambil dalil firman Alloh yang Maha Mulia,

"Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Illah (sesembahan, Tuhan) yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal." (QS. Muhammad: 19)

Dan dari ayat Al Quran ini, salah seorang ulama ahli hadits menjadikan dalil tentang keutamaan ilmu. Beliau bernama Sufyan bin Uyainah (Sufyan bin Uyainah bin Maimun, Abu Muhammad Al-Hilaly, seorang ulama ahli hadits yang lahir pada tahun 108 H, meninggal tahun 198 H).

Dan dari bab yang ditulis oleh Imam Bukhori, terkandung makna yang luhur dan mulia makna yang tersirat dalam bab yang ditulis oleh beliau adalah wajibnya melandasi perkataan dan perbuatan kita dengan ilmu. Oleh karena itu belajar ilmu yang wajib lebih diutamakan daripada perkataan dan perbuatan. Syaikh Abdurrohman bin Muhammad bin Qosim berkata, "Sesungguhnya belajar ilmu yang wajib lebih diutamakan daripada perkataan dan perbuatan, karena perkataan dan perbuatan seseorang tidak dibenarkan kecuali berdasarkan ilmu, dalam sebuah hadits: Barangsiapa berbuat (melakukan suatu perbuatan) yang tidak ada ajarannya dari kami maka (perbuatan) itu tertolak/ tidak diterima oleh Alloh." (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 2697 dan Imam Muslim no.1718)

Dan dikatakan dalam sebuah syair,

Dan siapa saja yang berbuat tanpa didasari ilmu,
maka perbuatannya tertolak, tidak diterima.

Alloh memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan dua hal: yang pertama ilmu kemudian yang kedua berbuat. Perintah pertama adalah ilmu baru kemudian diikuti dengan perbuatan, ini menunjukkan bahwa kedudukan ilmu lebih utama daripada kedudukan perbuatan dan ilmu adalah suatu syarat untuk perkataan dan perbuatan. (Hasyiyat Ibnu Qosim atas kitab Ushulu Tsalatsah, hal: 18 dan 19).

Syaikhul Islam filhadist Al-Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani dalam menjelaskan bab yang ditulis oleh Imam Bukhori, menukil perkataan yang indah dari seorang ulama, beliau berkata, Ibnul Munir mengatakan, "Yang diinginkan (dimaksud) olehnya (Imam Bukhori) adalah bahwa ilmu merupakan syarat sahnya suatu perkataan dan perbuatan, maka tidak dibenarkan keduanya (perkataan dan perbuatan) kecuali dengan ilmu, maka ilmu lebih diutamakan daripada perkataan dan perbuatan karena ilmulah sebagai pembetul niat yang bisa membetulkan amal perbuatan." (Fathul Baari Syarah Shohih Bukhori jilid 1 hal: 234, Bab ilmu sebelum perkataan dan perbuatan. Cetakan Darul Mishriyah).

Maka dari penjelasan para ulama-ulama salaf, jelaslah bahwa ilmu merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum ia berkata dan berbuat. Ilmu adalah syarat sahnya perkataan dan perbuatan seseorang, oleh karena itu landasan ilmu juga merupakan salah satu unsur utama dalam berdakwah.

Alloh berfirman,

"Katakanlah hai Muhammad inilah jalanKu, yaitu menyeru kepada Alloh atas dasar ilmu..." (QS. Yusuf: 108)

Karena pentingnya ilmu itulah Alloh memberi kedudukan yang tinggi dan mulia pada orang-orang yang berilmu dalam banyak ayat-ayat Al Quran. Bahkan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menyebutkan beberapa kelebihan dan kemuliaan orang yang berilmu dalam banyak hadits. Di antara ayat-ayat Al Quran dan hadits Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam yang menunjukkan keutamaan dan kelebihan ilmu adalah:

Pertama:

Firman Alloh subhanahu wa ta'ala,


"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Surat Ali Imron: 18)

Kedua:

Firman Alloh 'azza wa jalla,

"Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: 'Berlapang-lapanglah dalam majelis,' Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: 'Berdirilah kamu,' Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Mujaadalah: 11)

Ketiga:

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa yang menempuh suatu jalan karena menuntut ilmu, maka Alloh akan memudahkan kepadanya jalan menuju surga karenanya. Dan sesungguhnya para malaikat akan membentangkan sayap-sayap mereka bagi orang yang belajar ilmu karena (malaikat) ridho dengan perbuatan itu, dan sesungguhnya orang yang berilmu akan diminta ampun dosanya oleh para penghuni langit dan bumi sehingga ikan-ikan yang ada di lubang air, dan sesungguhnya menjadi keutamaan orang yang beri,mu atas orang-orang yang beribadah saja (tanpa ilmu) adalah seperti keutamaan bulan purnama atas bintang-bintang, sesungguhnya para ulama (orang-orang yang berilmu) adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, melainkan hanya memberikan warisan ilmu, maka siapa yang mengambil warisan Ilmu adalah telah mendapat bagian yang banyak." (Hadits shohih diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Hibban, lihat Shohih Jami' no. 6293 jilid2, hal 1079 milik Syaikh Al-Albani)

Dan berbicara masalah keutamaan ilmu berarti berbicara juga keutamaan orang yang berilmu. Diantara perkataan ulama tentang keutamaan ilmu. Mu'adz bin Jabal rodhiallohu 'anhu berkata, "Belajarlah ilmu karena sesungguhnya mempelajari ilmu merupakan khosyah, menuntutnya adalah ibadah, mengulang-ulanginya adalah tasbih, mencarinya adalah jihad dan memberitahukan kepada orang yang tidak mengetahui adalah sedekah." (Mauquf atas Mu'adz bin Jabal sebagaimana diterangkan oleh para ulama riwayat Imam Khotib Al-Baghoddi dalam Al-Faqiih wal Mutafaqqih, Abu Nu'man dalam kitab Hilyatul Duliyah, dan Ibnu Abdillah dalam Jami').

Ali bin Abi Tholib rodhiallohu 'anhu berkata, "Ilmu itu lebih baik daripada harta, sebab ilmu itu selalu menjagamu dan sedangkan engkau selalu yang menjaga harta." (Faqih wal Mutafaqqih 1/50, Ittiba' milik Ibnu Abdil 'Izz hal 86 Bidayah wan Nihayah 9/47 dan I'tishom 2/358).

Imam Syafi'I berkata, "Menuntut ilmu lebih utama daripada sholat yang sunnah." Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata, "Tidak ada suatu amal perbuatan yang lebih utama daripada menuntut ilmu kalau ia niatnya benar." (Miftah Daaris Saa'dah I/212).

Imam ahmad berkata, "Manusia lebih membutuhkan kepada ilmu daripada makan dan minum." (Al 'Ilmu, Fadhluhu wa Syarofuhu oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, hal: 136).

Inilah beberapa untaian para ulama yang mereka memiliki andil dalam hal ilmu. Ini semua mengisyaratkan bahwa ilmu mempunyai keutamaan dan keistimewaan yang seharusnya diutamakan daripada perbuatan dan perkataan.

(Makalah SII 2005, Musholla Teknik UGM)

***

Tingkat pembahasan: Dasar
Penulis: Ustadz Arifin Ridin