Selasa, November 18, 2008

Pemberian terbaik [ filosofi ]

dari dudung.net

Suatu ketika, hiduplah seorang petani bersama keluarganya. Mereka menetap di sebuah kerajaan yang besar, dengan raja yang adil dan bijaksana. Beruntunglah siapa saja yang tinggal disana. Tanahnya subur, keadaannya pun aman dan sentosa. Semuanya hidup berdampingan, tanpa pernah mengenal perang ataupun bencana.

Setiap pagi, sang petani selalu pergi ke sawah. Tak lupa ia membawa bajak dan kerbau peliharaannya. Walaupun sudah tua, namun bajak dan kerbau itu selalu setia menemaninya bekerja. Sisi-sisi kayu dan garu bajak itu tampak mengelupas, begitupun kerbau yang sering tampak letih jika bekerja terlalu lama. "Inilah hartaku yang paling berharga", demikian gumam petani itu dalam hati, sembari melayangkan pandangannya ke arah bajak dan kerbaunya.

Tak seperti biasa, tiba-tiba ada serombongan pasukan yang datang menghampiri petani itu. Tampak pemimpin pasukan yang maju, lalu berkata, "Berikan bajak dan kerbaumu kepada kami. "Ini perintah Raja!". Suara itu terdengar begitu keras, mengagetkan petani itu yang tampak masih kebingungan.

Petani itu lalu menjawab, "Untuk apa, sang Raja menginginkan bajak dan kerbauku? "Ini adalah hartaku yang paling berharga, bagaimana aku bisa bekerja tanpa itu semua. Petani itu tampak menghiba, memohon agar diberikan kesempatan untuk tetap bekerja. "Tolonglah, kasihani anak dan istriku...berilah kesempatan sampai besok. Aku akan membicarakan dengan keluargaku..."

Namun, pemimpi pasukan berkata lagi, "Kami hanya menjalankan perintah dari Baginda. Terserah, apakah kau mau menjalankannya atau tidak. Namun, ingatlah, kekuasaannya sangat kuat. "Petani semacam kau tak akan mampu melawan perintahnya." Akhirnya, pasukan itu berbalik arah, dan kembali ke arah istana.

Di malam hari, petani pun menceritakan kejadian itu dengan keluarganya. Mereka tampak bingung dengan keadaan ini. Hati bertanya-tanya, "Apakah baginda sudah mulai kehilangan kebijaksanaannya? Kenapa baginda tampak tak melindungi rakyatnya dengan mengambil bajak dan kerbau kita? Gundah, dan resah melingkupi keluarga itu. Namun, akhirnya, mereka hanya bisa pasrah dan memilih untuk menyerahkan kedua benda itu kepada raja.

Keesokan pagi, sang petani tampak pasrah. Bersama dengan bajak dan kerbaunya, ia melangkah menuju arah istana. Petani itu ingin memberikan langsung hartanya yang paling berharga itu kepada Raja. Tibalah ia di halaman Istana, dan langsung di terima Raja. "Baginda, hamba hanya bisa pasrah. Walaupun hamba merasa sayang dengan harta itu, namun hamba ingin membaktikan diri kepada Baginda. Duli Paduka, terimalah pemberian ini...."

Baginda Raja tersenyum. Sambil menepuk kedua tangannya, ia tampak memanggil pengawal. "Pengawal, buka selubung itu!! Tiba-tiba,terkuaklah selubung di dekat taman. Ternyata, disana ada sebuah bajak yang baru dan kerbau yang gemuk. Kayu-kayu bajak itu tampak kokoh, dengan urat-urat kayu yang mengkilap. Begitupun kerbau, hewan itu begitu gemuk, dengan kedua kaki yang tegap.

Sang Petani tampak kebingungan. Baginda mulai berbicara, "Sesungguhnya, aku telah mengenal dirimu sejak lama. Dan aku tahu kau adalah petani yang rajin dan baik. Namun, aku ingin mengujimu dengan hal ini. Ternyata, kau memang benar-benar hamba yang baik. Engkau rela memberikan hartamu yang paling berharga untukku. Maka, terimalah hadiah dariku. Engkau layak menerimanya...."

Petani itu pun bersyukur dan ia pun kembali pulang dengan hadiah yang sangat besar, buah kebaikan dan baktinya pada sang Raja.

***

Teman, bisa jadi, tak banyak orang yang bisa berlaku seperti petani tadi. Hanya sedikit orang yang mau memberikan harta yang terbaik yang dimilikinya kepada yang lain. Namun, petani tersebut adalah satu dari orang-orang yang sedikit itu. Dan ia, memberikan sedikit pelajaran buat kita.

Sesungguhnya, Allah sering meminta kita memberikan terbaik yang kita punya untuk-Nya. Allah, sering memerintahkan kita untuk mau menyampaikan yang paling berharga, hanya ditujukan pada-Nya. Bukan, bukan karena Allah butuh semua itu, dan juga bukan karena Allah kekurangan. Namun karena sesungguhnya Allah Maha Kaya, dan Allah sedang menguji setiap hamba-Nya.

Allah sedang menguji, apakah hamba-Nya adalah bagian dari orang-orang yang beriman dan mau bersyukur. Allah sedang menguji, apakah ada dari hamba-hamba-Nya yang mau menafkahkan harta di jalan-Nya. Dan Allah, pasti akan memberikan balasan atas upaya itu dengan pemberian yang tak akan kita bayangkan. Imbalan dan pahala yang akan kita terima, sesungguhya akan mampu membuat kita paham, bahwa Allah memang Maha Pemberi Kemuliaan.

Dan teman, mari kita berikan yang terbaik yang kita punya kepada-Nya. Marilah kita tujukan waktu, kerja dan usaha kita yang terbaik hanya kepada-Nya. Karena sesungguhnya memang, kita tak akan pernah menyadari balasan apa yang akan kita terima atas semua itu.

Allah selalu punya banyak cara-cara rahasia untuk memberikan kemuliaan bagi hamba-Nya. Dan Dia akan selalu memberikan pengganti yang lebih baik untuk semua yang ikhlas kita berikan pada-Nya

_________________
Sumber dari milis Daarut Tauhiid

Lelaki pilihan

dari : http://nurlatifah.wordpress.com/2008/03/28/lelaki-pilihan/

ehemm… Lelaki Pilihan Siapa laki-laki pilihan para wanita muslimah untuk menjadi pendamping hidup? Seorang pejabat, hartawan, atau si wajah tampan? Bisa jadi itu semua bukan pilihan utama dan lebih menjatuhkan pilihannya pada laki-laki dengan syarat ketinggian taraf keimanan, ibadah serta aktifitas sosial dan dakwah yang lebih darinya. Ataukah cukup yang biasa-biasa saja dan setara bahkan lebih rendah dari dirinya dengan catatan selama ia masih beragama Islam. Pilihan-pilihan itu sering mengemuka seiring dengan rencana dan keinginan seorang wanita untuk menempuh jalinan rumah tangga. Sebab, konon saat ini semakin sulit mencari laki-laki ideal dan “jempolan”. Tentu bukan karena timpangnya perbandingan jumlah laki-laki dan wanita. Namun lebih dimungkinkan karena semarak aktifitas keislaman lebih berkembang di kalangan wanita muslimah dibandingkan laki-laki, meski hal itu masih perlu dilakukan verifikasi dengan data statistik yang benar.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah wajarkah seseorang wanita mensyaratkan kadar keimanan (agama) yang lebih tinggi atas calon suaminya? Nikah adalah ikatan paling kuat dan kekal antara dua jenis insan . Ia pun banyak membawa hal-hal yang lebih positif bagi seseorang daripada hidup membujang. Jiwa perlu diikat dengan pengikat yang kuat lagi kokoh. Pengikat ini adalah aqidah. Karena hanya aqidah yang dapat mengarahkan hidup seseorang, menyetir hati, pikiran dan perasaannya, serta menanamkan pengaruh yang paling berkesan, kemudian menentukan jalan kehidupan mereka.

Dalam kaitan inilah, para ulama bersepakat atas haramnya seorang wanita muslim mengawini laki-laki kafir, baik kafir musyrik ataupun kafir kitabi. Hal itu juga ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya, “… dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik dengan wanita beriman sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari seorang musyrik walaupun ia menarik hatimu …” (QS/ Al-Baqarah:221). Secara teoritis, tabiat wanita akan cenderung mengikuti suaminya. Sementara dalam sistem Islam, kepala keluarga adalah suami. Hal ini mencerminkan bahwa kondisi calon suami yang lebih mapan dan tinggi keimanannya menjadi satu syarat yang tidak bisa diabaikan.

Sementara itu, ada kecenderungan laki-laki muslim untuk (sengaja atau tidak) menunda pernikahan dengan beragam alasan. Studi, karir, masalah ekonomi, ingin lebih mendahulukan kepentingan keluarga dan berbagai alasan lainnya. Kondisi tersebut sesungguhnya justru sangat kontradiktif dengan keadaan yang dialami para muslimah. Bagi para wanita muslimah yang memahami konsep Islam secara baik, yang menjadi ukuran utama adalah kadar ketaqwaan dan tingkat keimanan dari calon suami. Sementara harta, jabatan, penampilan fisik dan latar belakang menjadi tidak lebih diutamakan meski tidak pula menampik hasrat untuk mendapatkan yang ‘lebih’ dari semua persyaratan itu. Artinya, keinginan untuk mendapatkan suami dengan penampilan menarik, harta yang cukup ditopang jabatan yang menjanjikan menjadi tidak lebih penting bagi seorang wanita muslimah jika syarat utamanya, yakni kadar keimanan dan akhlaq yang baik tidak dimiliki oleh calon pendampingnya.

Banyak wanita muslimah saat ini yang berpendapat bahwa tidak ada salahnya untuk memperoleh pendamping hidup yang sholeh, tampan, cukup harta dan berpendidikan. Pendapat itu tidak salah, namun juga tidak menjadi benar jika itu menjadi alasan untuk menolak setiap laki-laki sholeh yang datang karena tidak memenuhi syarat lainnya.

Hal itu ditegaskan Rasulullah SAW dalam haditsnya, Dari Abi Hatim al Muzani, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Apabila datang (meminang) kepadamu orang yang kamu ridhai agamanya dan akhlaqnya, maka nikahkanlah (anakmu dengan) dia. Jika tidak kamu lakukan maka akan timbullah fitnah di bumi dan kerusakan yang besar,” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, jika hal itu memang ada?” Beliau menjawab, “Apabila datang (meminang) kepadamu, orang yang engkau ridha (karena) agama dan akhlaqnya, maka nikahkanlah anakmu dengan dia.” (diucapkan tiga kali) (HR. Tirmidzi)

Imam Asy Syaukani mengatakan, “orang yang kamu ridhai karena agama dan akhlaqnya” dalam hadits diatas, menunjukkan bahwa kufu itu menyangkut segi agama dan akhlaq. Sedangkan Imam Malik menegaskan bahwa kufu itu hanya menyangkut agama saja. Demikian juga apa yang dikutip dari Umar dan Ibnu Mas’ud dan kalangan tabi’in seperti Muhammad Ibn Sirin dan Umar bin Abdul Aziz dengan dasar firman: “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling taqwa kepada-Nya.”

Dari sudut pernikahan, kufu dalam arti agama memang menjadi suatu ketentuan yang mutlak. Namun, kufu dari sisi akhlaq merupakan pertimbangan yang lebih jauh. Ini menyangkut masa depan keutamaan sebuah keluarga muslim di tengah keluarga muslim lainnya. Oleh karena itulah Rasulullah SAW menyatakan bahwa apabila yang datang itu adalah seorang yang baik agama dan akhlaqnya, maka (jika anak perempuannya juga tidak keberatan) pinangannya harus diterima.

Agama dan akhlaq adalah ukuran yang ideal bagi suami yang baik. Dari sisi inilah wajar bila seorang wanita muslimah ingin mendapatkan nilai lebih dari diri calon suaminya, minimal dibandingkan dirinya sendiri. Tetapi cukuplah bersyukur atas nikmat dan anugrah yang diberikan Allah SWT jika memang Allah menentukan pilihan bagi seorang muslimah yang …ehm, Sholeh, tampan, berpendidikan dan cukup harta. Hendaknya ia tidak menjadi takabbur menganggap dirinya lebih mulia dari wanita muslimah lainnya, karena sesungguhnya atas segala nikmat yang Allah berikan, Allah titipkan pula ujian didalamnya untuk menguji apakah hamba-Nya bersyukur atau sebaliknya. (bay/beberapa sumber)

Tetaplah Tersenyum

Oleh: Ary Nur Azizah
referensi dari dudung.net

Bila kondisi hari ini masih seperti kemarin di mana harapan belum menjelma menjadi nyata. Tetaplah tersenyum. Bukan berarti Allah mengabaikan doa-doa kita. Kita tahu, Allah adalah Dzat Yang Maha Mengabulkan doa-doa hamba-Nya.

�Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkannya�� (QS Al mu'min:60).

Tak ada yang dapat meragukan janji-Nya. Doa kepada-Nya ibarat sebuah investasi. Tak akan pernah membuat investornya merugi. Karena penjaminnya adalah Dzat Yang Maha Pemurah, Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Dzat Yang Maha Welas Asih itu, tak akan pernah ingkar janji. Tidak akan sia-sia munajat yang kita mohonkan pada-Nya, baik di waktu siang apalagi di sepertiga malam. Ketika lebih banyak makhluk-Nya pulas, dalam dekapan dinginnya malam dan hangatnya selimut tebal.

Bila belum ada perubahan berarti tentang rencana-rencana kita, tetaplah tersenyum. Allah lebih mengetahui apa-apa yang baik untuk kita. Yakinlah, bahwa:

�Sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah pasti akan datang, maka janganlah kalian minta untuk disegerakan.� (QS An Nahl:1).

Allah Maha Mengetahui kapan sesuatu pas untuk kita, baik dalam sisi timing maupun momentnya. Allah, Pencipta alam raya ini, adalah sutradara hebat, yang tidak akan membiarkan kita terpuruk dalam keburukan. Selama kita yakin akan kekuasaan-Nya, yakin akan kasih sayang-Nya.

Jika semua serasa mandeg, tak ada kemajuan berarti. Tetaplah juga tersenyum. Allah punya cara sendiri untuk membuat kita senantiasa dekat dengan-Nya. Mungkin, semua ini dibuat-Nya untuk kita agar kita senantiasa hanyut dalam sujud-sujud panjang di penghujung malam. Senantiasa larut dalam tangis penuh harap, dalam buaian doa-doa panjang nan khuyuk.

Semua tak akan tersia-sia begitu saja. Allah, mencatat setiap upaya yang kita lakukan dan doa yang kita panjatkan. Segala sesuatu yang kita perbuat, sekecil apa pun itu, akan menuai balasan di sisi-Nya kelak. Niatkan semuanya hanya untuk meraih ridha-Nya, agar perjuangan hebat ini tak hanya bermakna sementara. InsyaAllah kita akan memetik buahnya kelak, di waktu yang telah Ia tentukan.

Dunia ini fana. Tak ada yang kekal didalamnya. Pun perjuangan ini, pengorbanan ini, juga kesulitan ini. InsyaAllah, suatu hari nanti, harapan akan berbuah kebahagiaan. Akan menjelma menjadi kemudahan. Karena, sekali lagi, Allah telah menjamin:

�Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.� (QS Al Insyirah: 5-6)

�Allah pasti akan memberikan kemenangan atau mengadakan keputusan yang lain dari sisi-Nya.� (QS Al Maidah:52)

Tetaplah berbaik sangka kepada-Nya. Tetaplah berharap sepenuh hati kepada-Nya. Tetaplah gantungkan asa setinggi apa pun itu, hanya kepada-Nya. Sekali lagi, hanya kepada-Nya.

�Sesungguhnya, rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.� (QS Al A'raf: 56)

��Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.� (QS Yusuf: 87).

Dan, jika akhirnya harapan tidak menjelma seperti yang kita idamkan, tetaplah terus berbaik sangka kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui. Karena,

�Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.� (QS Al Baqarah: 216).

Teruslah berjuang. Demi sebuah azzam yang dipancangkan untuk meraih ridho Ilahi Robbi.

Wallohua'lam bishshowwab.

(Special for my soul mate: Go a head and keep smiling! For good times and bad times I'll be to step behind you forever-more. InsyaAllah�)

Melangitkan Jilbab (Pasca Ramadan) ?

dari http://www.pesantrenvirtual.com

Dasawarsa ini, sungguh eksentrik geliat religius yang menjangkit bangsa kita setiap bulan Ramadan tiba, jilbab mendadak jadi trend tersendiri. Jilbab pun dicampakkan ketika gemuruh bedug hari raya Idul Fitri berlalu. Sehingga wajar diberlakukannya “honoris causa ‘Jilbab Musiman’ ”. Fenomena apakah itu ?
Jilbab, dalam bahasa Arab lazim disebut chijab(penutup aurat), orisinilitasnya adalah kewajiban(fardu a’in) bagi setiap Muslimah bila berada di tempat terbuka yang memungkinkan aurat(anggota badan)nya terlihat oleh orang lain atau bukan muhrim.
Fenomena yang terjadi dan berkembang akhir-akhir ini, macam-macam istilah jilbab, “visi dan misinya” pun beragam. Ada “Jilbab Gaul”, gelar bagi para Muslimah yang mengenakan “kain jilbab’’ tapi sikapnya tidak jelas, termasuk di siang hari bulan suci Ramadan ini, --dengan berkain jilbab itu-- dirinya tak segan bercumbu dengan sembarang laki-laki di tempat terbuka. Menjamur pula “Jilbab Politik”, biasa dikenakan oleh para politisi setiap musim “Silaturrahim politik” ke berbagai pondok pesantren, atau turun lapangan kampanye untuk megeruk simpati publik. Atau “Jilbab Asmara”, pakaian sang gadis jelita demi untuk meraih cinta sang pemuda tampan idamannya. Dan berbagai “jilbab” lainnya.
Terlepas dari kepentingan dan kredibilitas religius (bathin) masing-masing yang mengenakan “kain” jilbab, aspek etimologis itu semua sah-sah saja. Karena jilbab secara bahasa adalah penutup (anggota lahir badan).


Jilbab Komersial
Setiap bulan Ramadan, sekilas sungguh mempesona pamor kibaran “kain” jilbab yang dipancarkan oleh berbagai kalangan wanita. Dengan mode sedemikian rupa bagusnya.
Hebohnya ! Mereka yang terbiasa bangga menggerakkan dan memamerkan aurat badannya di berbagai media masa cetak dan elektronik pun di bulan Ramadan ini mendadak “cuti” dari profesinya. “Demi untuk memamerkan kain jilbabnya”. Spontan ngetrend "alih profesi" berlomba memproklamirkan dirinya memakai aneka busana Muslimah dengan harga tidak murah, untuk disaksikan oleh para penggemarnya sebagai "selebritis taat beribadah !". Argumen singkat mereka "kita sangat gembira menyambut bulan suci Ramadan".
Bahkan tak heran, banyak pula wanita non-Muslimah ditunjang dengan modal kecantikan wajahnya, sementara waktu "ikhlas menjadi bunglon" mengenakan kain jilbab, plus secara terselubung gencar mengkampanyekan hedonis, membuat banyak orang terpesona melihat "kain jilbabnya".
Seolah-olah mereka(artis) adalah “wanita sholikhah” teladan bagi para Muslimah. Meskipun sejatinya hanya mencari simpati demi meningkatkan rating tayangan film atau acara tertentu "bereklame Islam" yang dibintangi oleh mereka setiap hari ditayangkan di berbagai stasiun televisi pada bulan suci ini.
Anehnya ? Komunitas yang benar-benar berjilbab, dengan fasilitas hidup seadanya pun, tanpa memfungsikan nalar ilmiah, tertipu dan terjebak ke dalam kubangan hedonisme. Sekalian menjadikan gaya "Jilbab Musiman" para artis yang penuh kepentingan itu,
sebagai panutan atau "kiblat” hidupnya. Inilah di anatara poin negatifnya. Kalau fenomena-fenomena tersebut terus terjadi, sungguh naif dan memilukan, bukan ?


Jilbab dan Puasa
Perspektif hukum fiqih, empat madzhab pokok ahlussunnah wal jama’ah(Hanafiyah, Hanabilah, Malikiyah dan Syafi’iyah) konsesus(ittifaq) bahwa kontinuitas memakai jilbab adalah elemen dari totalitas kewajiban(fardu a’in) bagi setiap orang Islam, dan bukanlah merupakan syarat atau rukun ibadah puasa.[1]
Kecuali aspek tasawwuf, sebagaimana opini Imam al-Ghozali dalam kitab Ihya ulumuddin -nya, untuk menuju kondisi kesempurnaan puasa(shaum al-khusus),[2] di antaranya adalah mengurangi kemaksiatan, misalnya menutup aurat badan(berjilbab) itu. QS. al-Nur/24: 31 dan al-Ahzab/33: 59, adalah ayat yang tegas menyatakan kontinuitas diwajibakannya berjilbab, “tidak hanya pada waktu tertentu, misalnya hanya pada
bulan Ramadan saja”.
Maka semestinya, bagi komunitas berjilab, terutama yang hanya ‘’sesaat’’ sedang mengenakan kain jilbab, tidak perlu lah mempublikasikankan diri di berbagai media masa. Karena asas kewajiban berjilbab : hanya karena menjalankan perintah Allah SWT (lilla-Hi ta’ala). Bukan untuk disanjung dan dipuja oleh fans club -nya.
Utamanya dalam kondisi beribadah puasa ini, harus menjauhkan diri dari virus ria dan sum’ah(mencari sanjungan dan popularitas dalam beribadah). Kalau hal tersebut bisa diterapkan, tentunya(insya Alloh) akan bisa mengusung Muslimah menuju kesempurnaan berjilbab.
Beda halnya yang ‘’sesaat’’ sedang mengenakan kain jilbab, mengeluarkan biaya ekstra mengontrak berbagai media masa, untuk mempublikasikan "jilbabnya".
Jelas, “jilbab –isme” yang demikian terkesan penuh kepentingan. Atau paling “ikhlasnya” hanya dianggap mode berpakaian sebagai intermeso (hedonisme-nya).
Realitasnya dapat diyakini, sesuai kebiasaan dan profesi aslinya, ketika telah lewat hari raya Idul Fitri yang semestinya hari awal kembalinya fitrah(kesucian manusia), mereka pun kembali berlomba memamerkan aurat badan, sesuai inisiatif produser film yang diperankan dan menguntungkannya. Bukan malah menjaga ke-fitrahan-nya itu !
Mungkin bagi sebagian orang, “Jilbab Musiman” dengan sarat kepentingan itu, lebih baik daripada kontinu seumur hidup beryukensi plus rok mini. Akan tetapi, sesuai kewajiban syar’i(agama), nalar dan naluri manusiawi. Betapa indah dan rapinya, jika jilbab itu, kontinu(istiqomah) dipakai sepanjang masa, tidak hanya setiap bulan Ramadan saja ? Sehingga dengan kontinuitas “berkain” jilbab itu, mudah-mudahan tidak hanya badannya saja yang selalu ditutupi “kain” jilbab, tapi juga menyebabkan akhlaknya akan benar-benar turut berjilbab. Tidak seperti fenomena ironis yang telah kronis menjangkit selama ini, di antara resikonya banyak orang berceletuk menyayat hati kita “jilbab hanya kedok kemunafikan belaka”.
Firman Allah SWT, QS. al-Baqoroh ayat 183, menurut para ulama tafsir, di antaranya Syeikh al-Chozin(w 725. H), cakupan ayat tersebut menyatakan, “puasa adalah sarana bagi manusia(beriman) untuk bisa mengusung diri menjadi bagian dari golongan orang-orang yang bertakwa(la’allakum tattaqun)”.[3] Kadar ketakwaan tersebut, tidak terbatas konteks jilbab, tapi totalitas berbagai elemen dan aspek religius.
Ya ! Semoga dengan berkah bulan suci Ramadan ini, berawal dari berkibarnya simbolis “Jilbab-isme Musiman” itu, akan tercipta milyaran jilbab yang benar-benar jilbab, murni atas amaliah agama. Tidak mencampakkan jilbab ketika bulan Ramadan usai. Apakah ilmiah, realistis dan logis ?

*Nasrulloh Afandi, Dewan Asatdiz PV. alumni pesantren Lirboyo Kediri, anggota pembina pesantren Kedungwungu Krangkeng Indramayu; aktivis mahasiswa NU di Marocco.

Sabtu, November 08, 2008

Satu Tamparan untuk Tiga Pertanyaan

Ada seorang pemuda yang lama sekolah di luar negeri, kembali ke tanah air. Sesampainya di rumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang guru agama, kiyai atau siapa saja yang bisa menjawab 3 pertanyaannya.

Akhirnya orang tua pemuda itu mendapatkan orang tersebut, seorang kiyai.

Pemuda : Anda siapa Dan apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?

Kiyai: Saya hamba Alloh dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda.

Pemuda : Anda yakin? Sedangkan Profesor dan ramai orang yang pintar tidak mampu menjawab pertanyaan saya.

Kiyai : Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.

Pemuda : Saya ada 3 pertanyaan:
1.Kalau memang Tuhan itu ada,tunjukan wujud Tuhan kepada saya
2.Apakah yang dinamakan takdir
3.Kalau syaitan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat syaitan. Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?

Tiba-tiba kyai tersebut menampar pipi pemuda tadi dengan keras.

Pemuda : (sambil menahan sakit) Kenapa anda marah kepada saya?

Kiyai : Saya tidak marah…Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 pertanyaan yang anda ajukan kepada saya.

Pemuda : Saya sungguh-sungguh tidak mengerti.

Kiyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?

Pemuda : Tentu saja saya merasakan sakit.

Kiyai : Jadi anda percaya bahawa sakit itu ada?

Pemuda : Ya!

Kiyai : Tunjukan pada saya wujud sakit itu!

Pemuda : Saya tidak bisa.

Kiyai : Itulah jawaban pertanyaan pertama…kita semua merasakan kewujudan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.

Kiyai : Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?

Pemuda : Tidak.

Kiyai : Apakah pernah terfikir oleh anda akan menerima tamparan dari saya hari ini?

Pemuda : Tidak.

Kiyai : Itulah yang dinamakan takdir.

Kiyai : Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?

Pemuda : Kulit.

Kiyai : Terbuat dari apa pipi anda?

Pemuda : Kulit.

Kiyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?

Pemuda : Sakit.

Kiyai : Walaupun syaitan dijadikan dari api dan neraka juga terbuat dari api, jika Tuhan menghendaki maka neraka akan menjadi tempat yang menyakitkan untuk syaitan.

Kesalahan-kesalahan Dalam Hal Pakaian Wanita


Sebagian dari kita kaum muslimin, tidak memperhatikan bagaimana kita berpakaian. Ada yang acuh tak acuh mengenai pakaian, namun ada juga yang memang tidak tahu, bagaimana seharusnya seorang muslim, baik wanita maupun laki-laki, mengatur dirinya dalam hal berpakaian. Padahal di dalam agama yang sempurna ini, masalah pakaian ini diatur dengan jelas dan tegas, mulai dari mengenai batasan-batasan minimal syar’i-nya hingga sanksi-sanksi bagi yang melanggarnya.

Di dalam kehidupan sehari-hari kadang-kadang saudara kita dari kalangan muslimin sendiri ada yang menganggap pakaian si fulanah seperti ini berlebihan, seperti itu ekstrim, dsb. Padahal bisa jadi pakaian si fulanah memang termasuk di dalam perkara yang diperintahkan oleh Alloh subhana wa ta’ala melalui Rosul-Nya sholallohu ‘alaihi wassalam. Alangkah ironisnya jika hal seperti ini sampai terjadi. Padahal bisa jadi omongan orang tadi bisa menjerumuskan dia kepada kekafiran, jika menyentuh pada penolakan terhadap syariat Alloh. Maka dari itu, seyogyanya yang menjadi patokan dari kita untuk menilai sesesuatu itu berlebihan atau berkekurangan, positif atau negatif, adalah aturan syariat Islam. Nah, mudah-mudahan artikel ini dapat menambah khazanah ilmu bagi pembaca sekalian dan agar kemudian diamalkan. Artikel ini saya pisah menjadi dua bagian, antara wanita dan laki-laki, untuk kenyamanan bagi pembaca. Semoga bermanfaat.

Kesalahan-kesalahan Dalam Hal Pakaian Wanita

1. Mengenakan pakaian yang sempit, transparan (tembus pandang) dan yang membuat orang tertarik untuk memandang.

Ini jelas haram. Setiap muslimah dilarang memakai pakaian yang sempit dan memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh, juga pakaian tipis yang menampakkan warna kulit dan pakaian lain secara umum yang membuat orang terutama laki-laki tertarik untuk memandangnya. Ironinya, kenyataan ini menimpa mayoritas kaum muslimah. Alloh berfirman:
“Dan janganlah wanita-wanita muslimah menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada para suami mereka.” (An-Nur: 31).
“Dan janganlah mereka (wanita-wanita muslimah) memukulkan kaki-kaki mereka untuk diketahui apa yang tersembunyi dari perhiasan mereka.” (An-Nur: 31).
Jika memperdengarkan suara perhiasan seperti gelang kaki atau perhiasan sejenisnya yang tersembunyi tidak dibolehkan, maka bagaimana pula dengan perhiasan yang tampak nyata, lebih dari itu bagaimana halnya dengan menampakkan lengan tangan, dada, betis bahkan paha?

2. Mengenakan pakaian yang terbuka dari bawah, atau tidak menutupi betis, dua telapak kaki, punggung, mengenakan celana pendek juga pakaian-pakaian yang menampakkan kecantikan wanita di hadapan laki-laki bukan mahramnya.

Hal ini tidak boleh dilakukan oleh wanita di hadapan laki-laki bukan mahramnya, baik di dalam maupun di luar rumah. Tetapi ironinya, pakaian jenis inilah yang membudaya di kalangan yang mengaku dirinya muslimah. Para wanita itu tidak menyadari bahwa pakaiannya tersebut merupakan jenis kemungkaran yang besar, bahkan ia salah satu penyebab terbesar bagi timbulnya berbagai tindak perkosaan dan kriminalitas. Yang lebih mengherankan, seakan jenis pakaian ini terutama di kota sudah demikian diterima masyarakat, sehingga jarang bahkan tak terdengar upaya mengingatkan kaum muslimah dari pakaiannya yang jauh dari Islam tersebut, baik lewat media massa maupun elektronik. Bahkan yang digelar di berbagai stasiun telivisi adalah pakaian-pakaian seronok dan telanjang, dan itu yang dilahap oleh kaum muslimah setiap hari sebagai panutan.

Sesungguhnya munculnya keadaan ini telah pernah disinyalir oleh Rasulullah sholallohu ‘alaihi wasallam . Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Dua (jenis manusia) dari ahli Neraka yang aku belum melihatnya sekarang yaitu; kaum yang membawa cemeti-cemeti seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengannya, dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berjalan dengan menggoyang-goyangkan pundaknya dan berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk onta yang condong. Mereka tidak akan masuk Surga bahkan tidak akan mendapat wanginya, dan sungguh wangi Surga telah tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim, shahih).

3. Mengenakan pakaian yang berlengan pendek, termasuk di dalamnya mengenakan kaos sehingga menampakkan kedua lengan tangan.

Ini jelas haram karena tidak menutup aurot. Tetapi betapa banyak wanita muslimah yang tidak memperhatikan masalah ini, sehingga mereka mengenakan pakaian tersebut di jalan-jalan, di pasar dan di tempat-tempat umum. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Wanita adalah aurot, maka jika ia keluar setan membuatnya indah (dalam pandangan laki-laki).” (HR. At-Tirmidzi, hasan shahih). Yakni setan membuat segenap mata memandang kepada si wanita sehingga menimbulkan fitnah.

4. Mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki, baik dalam bentuk maupun ciri-cirinya.

Ini adalah dilarang. Wanita memiliki pakaian khusus dengan segenap ciri-cirinya, dan laki-laki juga memiliki pakaian yang khusus, yang membedakannya dari pakaian wanita. Dan wanita tidak diperbolehkan menyerupai laki-laki dalam hal pakaian, penampilan dan cara berjalan. Dalam hadits shahih disebutkan:
“Rasulullah sholallohu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari, shahih).
“Rasulullah sholallohu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya, sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim).

5. Mengenakan konde (sanggul) rambut, karena ia termasuk menyambung rambut.

Ketika acara walimah pernikahan atau acara-acara pesta lainnya banyak wanita muslimah yang berdandan dengan sanggul rambut. Ini adalah dilarang. Asma’ binti Abi Bakar berkata, seorang wanita datang kepada Nabi `. Wanita itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai anak perempuan yang pernah terserang campak sehingga rambutnya rontok, kini ia mau menikah, bolehkah aku menyambung (rambut)nya? Rasulullah sholallohu ‘alaihi wasallam menjawab:
“Alloh melaknat perempuan yang menyambung (rambut) dan yang meminta disambungkan rambutnya.” (HR. Muslim).
“Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melarang wanita menyambung (rambut) kepalanya dengan sesuatu apapun.” (HR. Muslim).

Termasuk dalam hal ini adalah mengenakan wig (rambut palsu) yang biasanya dipasangkan oleh perias-perias yang salon-salon mereka penuh dihiasi dengan berbagai kemungkaran. Kebanyakan orang-orang yang melakukan hal ini adalah kalangan artis, bintang film, pemain drama, teater juga wanita-wanita yang kurang percaya diri dan ingin tampil lebih. Mudah-mudahan Alloh menunjuki mereka dan kita semua.

6. Mengecat kuku sehingga menghalangi air mengenai kulit ketika berwudhu.

Setiap kulit anggota wudhu tidak boleh terhalang oleh air, termasuk di dalamnya kuku. Mengenakan cat kuku menjadikan air terhalang mengenai kuku, sehingga wudhu menjadi tidak sah. Alloh berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bila kalian hendak mendirikan shalat maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu hingga ke siku, dan usaplah (rambut) kepalamu dan kakimu hingga ke mata kaki.” (Al-Maidah: 6).
Biasanya yang mengecat kuku adalah para wanita, tetapi larangan ini berlaku umum, baik laki-laki maupun wanita.

7. Memakai kuku palsu atau memanjangkan kuku tangan dan kaki.

Ini adalah menyalahi fithroh, dan larangan ini berlaku umum, baik bagi laki-laki maupun wanita. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ada lima fithroh; yaitu memotong rambut kemaluan, khitan, menggunting kumis, mencabut rambut ketiak dan memotong kuku.” (Muttafaq alaih).
Anas bin Malik rodhiallohu anhu berkata:
“Kami diberi waktu dalam menggunting kumis, memo-tong kuku, mencabut bulu ketiak dan rambut kemaluan agar kami tidak membiarkannya lebih dari 40 malam.” (HR. Muslim).

Meskipun bagi sementara orang, memanjangkan kuku ada manfaatnya, misalnya untuk keperluan-keperluan khusus, tetapi ia tidak menjadikan hukumnya berubah menjadi boleh. Karena itu setiap muslim harus menjaga agar kukunya tidak sampai panjang, segera memotongnya jika telah tumbuh. Adapun di antara hikmahnya adalah untuk menjaga kebersihan, sehingga ia merupakan salah satu tindakan penjagaan.

8. Tidak memakai kerudung (penutup kepala).

Malapetaka besar yang dipropagandakan oleh kaum sekuler dan murid-murid orientalis adalah pendapat bahwa kerudung (penutup kepala) hanyalah kebudayaan Arab belaka, tidak merupakan perintah syari’at. Oleh mereka yang terbiasa tidak memakai kerudung, pendapat ini merupakan legitimasi dan pembenaran terhadap perbuatan mungkar mereka. Sedangkan mereka yang masih labil dan perlu pembinaan, mereka menjadi bimbang, tetapi biasanya mereka lebih mudah mengikuti trend yang ada. La haula wala quwwata illaa billah. Tidak seorang ulama salaf pun yang berpendapat kerudung (penutup kepala) bukan perintah agama. Pendapat aneh ini hanya terjadi di kalangan cendekiawan muslim yang jauh dari tuntunan salaf. Dan dalil masalah ini sebagaimana disebutkan dalam pembahasan-pembahasan terdahulu.

9. Tidak memakai kaos kaki, sehingga tampak telapak kakinya.

Bagi sebagian muslimah yang ta’at memakai pakaian muslimah pun, terkadang masalah ini dianggap sepele. Telapak kaki termasuk aurot, karena itu ia harus ditutupi, membiarkannya kelihatan berarti kemungkaran dan dosa. Dalil masalah ini sebagaimana disebutkan dalam masalah-masalah terdahulu.

Wanita pada dasarnya sangat senang dipuji, baik kecantikannya, kelembutannya dan sifat-sifat indahnya yang lain. Tetapi banyak yang terperosok jauh, ingin dipuji kecantikannya, meski dengan resiko membuka aurot, agar tampak lebih indah mempesona. Ingatlah, wanita adalah sumber fitnah. Dan fitnah terbesar dari wanita adalah soal aurotnya. Kaum muslimah yang menutup aurot secara syar’i berarti telah memberikan sumbangan terbesar bagi tertutupnya sumber fitnah. Karena itu, berhati-hatilah wahai kaum muslimah dalam hal berpakaian

Mengapa Al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab?

Barangkali ada sebagian dari kita, termasuk kaum muslimin, masih muncul pertanyaan dalam dirinya:

Mengapa Al-Quran, wahyu Alloh yang diturunkan melalui Rasululloh Muhammad, menggunakan bahasa Arab sebagai mediatornya?

Mengapa bukan Bahasa Inggris, yang notabene saat ini merupakan bahasa terbesar di dunia? Atau Bahasa Indonesia, atau Bahasa Jawa?

Pada prinsipnya pastilah Alloh yang Maha Sempurna mempunyai alasan yang bagus mengenai masalah ini, yang di luar kemampuan dan pengetahuan kita. Namun artikel berikut ini mudah-mudahan dapat sedikit menjawab pertanyaan di atas. Artikel ini penulis kutip dari artikel “tanya jawab ustadz” di situs eramuslim.com dengan sedikit modifikasi, dengan tujuan efisiensi tempat, namun insya Alloh tidak mengurangi isinya. Semoga bermanfaat.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab?

Alasannya pastilah terkait dengan karakteristik Al-Qur’an itu sendiri, sehingga bahasa lain dianggap tidak layak digunakan oleh Al-Qur’an . Maka untuk menjawabnya, kita perlu tahu karakteristik Al-Qur’an itu sendiri.

1. Al-Qur’an untuk Semua Manusia

Berbeda dengan kitab suci agama sebelum Islam yang diperuntukkan khusus kepada kalangan terbatas , Al-Qur’an diperuntukkan untuk seluruh makhluk melata yang bernama manusia. Maka bahasa yang digunakan Al-Qur’an haruslah bahasa yang punya posisi strategis bagi semua bangsa manusia. Dan bahasa itu adalah bahasa arab dengan sekian banyak alasannya. Di antaranya:

a. Bahasa arab adalah bahasa tertua di dunia.

Sebagian ahli sejarah bahasa mengatakan bahwa Nabi Adam as dan istrinya Hawwa adalah manusia yang pertama kali menggunakan bahasa Arab . Sebab mereka diciptakan di dalam surga, dimana ada dalil yang menyebutkan bahwa bahasa penduduk surga adalah bahasa arab. Ketika Adam as menjejakkan kaki pertama kali di permukaan planet bumi, maka bahasa yang dilafadzkannya tentu bahasa arab.

Kalau kemudian anak-anak Adam berkembang biak dan melahirkan jutaan bahasa yang beragam di muka bumi, semua berasal dari bahasa arab. Jadi bahasa arab memang induk dari semua bahasa yang dikenal umat manusia. Wajar pula bila Al-Qur’an yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia menggunakan bahasa yang menjadi induk semua bahasa umat manusia.

b. Bahasa Arab Paling Banyak Memiliki Kosa Kata

Sebagai induk dari semua bahasa di dunia dan tetap digunakan umat manusia hingga hari ini, wajar pula bila bahasa Arab memiliki kosa kata dan perbendaharaan yang sangat luas dan banyak. Bahkan para ahli bahasa Arab menuturkan bahwa bahasa Arab memiliki sinonim yang paling menakjubkan . Kata unta yang dalam bahasa Indonesia hanya ada satu padanannya, ternyata punya 800 padanan kata dalam bahasa arab, yang semuanya mengacu kepada satu hewan unta. Sedangkan kata ‘anjing’ memiliki 100-an padanan kata.

Fenomena seperti ini tidak pernah ada di dalam bahasa lain di dunia ini. Dan hanya ada di dalam bahasa arab, karena faktor usia bahasa arab yang sangat tua, tetapi tetap masih digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari hingga hari ini. Dengan alasan ini maka wajar pula bila Alloh SWT memilih bahasa arab sebagai bahasa yang dipakai di dalam Al-Qur’an.

2. Al-Qur’an Berlaku Sepanjang Masa

Berbeda dengan kitab suci agama lain yang hanya berlaku untuk masa yang terbatas , Al-Qur’an sebagai kitab suci diberlakukan untuk masa waktu yang tak terhingga, bahkan sampai datangnya kiamat. Maka bahasa yang digunakan Al-Qur’an haruslah bahasa yang tetap digunakan oleh umat manusia sepanjang zaman.

Kenyataannya, sejarah manusia belum pernah mengenal sebuah bahasa pun yang tetap eksis sepanjang sejarah . Setiap bahasa punya usia, selebihnya hanya tinggal peninggalan sejarah. Bahkan bahasa Inggris sekalipun masih mengalami kesenjangan sejarah. Maksudnya, bahasa Inggris yang digunakan pada hari ini jauh berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh orang Inggris di abad pertengahan. Kalau Ratu Elizabeth II masuk ke lorong waktu dan bertemu dengan ‘mbah buyut’-nya, King Arthur, yang hidup di abad pertengahan, mereka tidak bisa berkomunikasi, meski sama-sama penguasa Inggris di zamannya. Mengapa?

Karena meski namanya masih bahasa Inggris, tapi kenyataannya bahasa keduanya jauh berbeda. Karena setiap bahasa mengalami perkembangan, baik istilah maupun grammar-nya. Setelah beratus tahun kemudian, bahasa itu sudah jauh mengalami deviasi yang serius.

Yang demikian itu tidak pernah terjadi pada bahasa Arab. Bahasa yang diucapkan oleh nabi Muhammad SAW sebagai orang arab yang hidup di abad ke-7 masih utuh dan sama dengan bahasa yang dipakai oleh Raja Abdullah, penguasa Saudi Arabia di abad 21 ini. Kalau seandainya keduanya bertemu dengan mesin waktu, mereka bisa ‘ngobrol ngalor ngidul’ hingga subuh dengan menggunakan bahasa arab.

Dengan kenyataan seperti ini, wajarlah bila Alloh SWT memilih bahasa arab sebagai bahasa Al-Qur’an Al-Kariem yang abadi. Kalau tidak, boleh jadi Al-Qur’an sudah musnah seiring dengan musnahnya bahasanya.

3. Al-Qur’an Mengandung Informasi yang Padat

Diantara keistimewaan bahasa arab adalah kemampuannya menampung informasi yang padat di dalam huruf-huruf yang singkat. Sebuah ungkapan yang hanya terdiri dari dua atau tiga kata dalam bahasa arab, mampu memberikan penjelasan yang sangat luas dan mendalam. Sebuah kemampuan yang tidak pernah ada di dalam bahasa lain.

Makanya, belum pernah ada terjemahan Al-Qur’an yang bisa dibuat dengan lebih singkat dari bahasa arab aslinya. Semua bahasa umat manusia akan bertele-tele dan berpanjang-panjang ketika menguraikan isi kandungan tiap ayat. Sebagai contoh, lafadz ‘ain dalam bahasa arab artinya ‘mata’, ternyata punya makna lain yang sangat banyak. Kalau kita buka kamus dan kita telusuri kata ini, selain bermakna mata juga punya sekian banyak makna lainnya. Di dalam kamus kita mendapati makna lainnya, seperti manusia, jiwa, hati, mata uang logam, pemimpin, kepala, orang terkemuka, macan, matahari, penduduk suatu negeri, penghuni rumah, sesuatu yang bagus atau indah, keluhuran, kemuliaan, ilmu, spion, kelompok, hadir, tersedia, inti masalah, komandan pasukan, harta, riba, sudut, arah, segi, telaga, pandangan, dan lainnya.

Bahasa lain tidak punya makna yang sedemikian padat yang hanya terhimpun dalam satu kata dan hurufnya hanya ada tiga. Dan wajar pula bila Alloh SWT berkenan menjadi bahasa arab sebagai bahasa untuk firman-Nya yang abadi.

4. Al-Qur’an Harus Mudah Dibaca dan Dihafal

Sesuai dengan fungsi Al-Qur’an yang salah satunya sebagai pedoman hidup pada semua bidang kehidupan, Al-Qur’an harus berisi beragam materi dan informasi sesuai dengan beragam disiplin ilmu. Dan kita tahu bahasa dan istilah yang digunakan di setiap disiplin ilmu pasti berbeda-beda. Dan sangat boleh jadi seorang yang ahli di dalam sebuah disiplin ilmu akan menjadi sangat awam bila mendengar istilah-istilah yang ada di dalam disiplin ilmu lainnya.

Dan kalau beragam petunjuk yang mencakup beragama disiplin ilmu itu harus disatukan dalam sebuah kitab yang simpel, harus ada sebuah bahasa yang mudah, sederhana tapi tetap mengandung banyak informasi penting di dalamnya. Bahasa itu adalah bahasa Arab. Karena bahasa Arab mampu mengungkapkan beragam informasi dari beragam disiplin ilmu, namun tetap cair dan mudah dimengerti. Dan saking mudahnya, bahkan bisa dihafalkan di luar kepala.

Salah satu karakteristik bahasa Arab adalah mudah untuk dihafalkan, bahkan penduduk gurun pasir yang tidak bisa baca tulis pun mampu menghafal jutaan bait syair. Dan karena mereka terbiasa menghafal apa saja di luar kepala, sampai-sampai mereka tidak terlalu butuh lagi dengan alat tulis atau dokumentasi. Kisah cerita yang tebalnya berjilid-jilid buku, bisa digubah oleh orang arab menjadi jutaan bait puisi dalam bahasa arab dan dihafal luar kepala dengan mudah. Barangkali fenomena ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tulis menulis kurang berkembang di kalangan bangsa arab saat itu. Buat apa menulis, kalau semua informasi bisa direkam di dalam otaknya?

Maka sangat wajar kalau Alloh SWT menjadikan bahasa arab sebagai bahasa Al-Qur’an.

5. Al-Qur’an Harus Indah dan Tidak Membosankan

Salah satu keunikan bahasa arab adalah keindahan sastranya tanpa kehilangan kekuatan materi kandungannya. Sedangkan bahasa lain hanya mampu salah satunya. Kalau bahasanya indah, kandungan isinya menjadi tidak terarah. Sebaliknya, kalau isinya informatif maka penyajiannya menjadi tidak asyik diucapkan.

Ada sebuah pintu perlintasan kereta api yang modern di Jakarta. Setiap kali ada kereta mau lewat, secara otomatis terdengar rekaman suara yang membacakan peraturan yang terkait dengan aturan perlintasan kereta. Awalnya, masyarakat senang mendengarkannya, tapi ketika setiap kali kereta mau lewat, suara itu terdengar lagi, maka orang-orang menjadi jenuh dan bosan. Bahkan mereka malah merasa terganggu dengan rekaman suara itu. Ada-ada saja komentar orang kalau mendengar rekaman itu berbunyi secara otomatis.

Tapi lihatlah surat Al-Fatihah, dibaca orang ribuan kali baik di dalam shalat atau di luar shalat, belum pernah ada orang yang merasa bosan atau terusik ketika diperdengarkan. Bahkan bacaan Al-Qur’an itu begitu sejuk di hati, indah dan menghanyutkan. Itu baru pendengar yang buta bahasa arab. Sedangkan pendengar yang mengerti bahasa arab, pasti ketagihan kalau mendengarnya.

Tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bisa tetap terdengar indah ketika dibacakan, namun tetap mengandung informasi kandungan yang kaya, kecuali bahasa arab. Maka wajarlah bila Alloh SWT berfirman dengan bahasa arab.

Apa yang kami sampaikan ini baru sebagai kecil dari sekian banyak hikmah diturunkannya Al-Qur’an dengan bahasa arab. Kita tidak tahu apa jadinya bila Al-Qur’an ini tidak berbahasa arab. Mungkin bisa jadi Al-Qur’an hanya ada di musium saja.

وَلَوْ جَعَلْنَاهُ قُرْآناً أَعْجَمِيّاً لَّقَالُوا لَوْلَا فُصِّلَتْ آيَاتُهُ أَأَعْجَمِيٌّ وَعَرَبِيٌّ قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاء وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُوْلَئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍ بَعِيدٍ

Dan jikalau Kami jadikan al-Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan, “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?… . [QS. Fushshilat: 44]

Wallohu a’lam bish-showab, Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh

gula

Tak ada yang lebih gusar melebihi makhluk Allah yang bernama gula pasir. Pemanis alami dari olahan tumbuhan tebu ini membandingkan dirinya dengan makhluk sejenisnya yang bernama sirop.

Masalahnya sederhana. Gula pasir merasa kalau selama ini dirinya tidak dihargai manusia. Dimanfaatkan, tapi dilupakan begitu saja. Walau ia sudah mengorbankan diri untuk memaniskan teh panas, tapi manusia tidak menyebut-nyebut dirinya dalam campuran teh dan gula itu. Manusia cuma menyebut, "Ini teh manis." Bukan teh gula. Apalagi teh gula pasir.

Begitu pun ketika gula pasir dicampur dengan kopi panas. Tak ada yang mengatakan campuran itu dengan 'kopi gula pasir'. Melainkan, kopi manis. Hal yang sama ia alami ketika dirinya dicampur berbagai adonan kue dan roti.

Gula pasir merasa kalau dirinya cuma dibutuhkan, tapi kemudian dilupakan. Ia cuma disebut manakala manusia butuh. Setelah itu, tak ada penghargaan sedikit pun. Tak ada yang menghargai pengorbanannya, kesetiaannya, dan perannya yang begitu besar sehingga sesuatu menjadi manis. Berbeda sekali dengan sirop.

Dari segi eksistensi, sirop tidak hilang ketika bercampur. Warnanya masih terlihat. Manusia pun mengatakan, "Ini es sirop." Bukan es manis. Bahkan tidak jarang sebutan diikuti dengan jatidiri yang lebih lengkap, "Es sirop mangga, es sirop lemon, kokopandan, " dan seterusnya.

Gula pasir pun akhirnya bilang ke sirop, "Andai aku seperti kamu."
**
Sosok gula pasir dan sirop merupakan pelajaran tersendiri buat mereka yang giat berbuat banyak untuk umat. Sadar atau tidak, kadang ada keinginan untuk diakui, dihargai, bahkan disebut-sebut namanya sebagai yang paling berjasa. Persis seperti yang disuarakan gula pasir.

Kalau saja gula pasir paham bahwa sebuah kebaikan kian bermutu ketika tetap tersembunyi. Kalau saja gula pasir sadar bahwa setinggi apa pun sirop dihargai, toh asalnya juga dari gula pasir. Kalau saja para pegiat kebaikan memahami kekeliruan gula pasir, tidak akan ada ungkapan, "Andai aku seperti sirop!" (MN)

Gunung

Seorang anak mengungkapkan rasa penasarannya kepada ayahnya. “Yah, seperti apa sih rupa gunung itu?” Sang ayah tidak menjawab. Ia hanya bilang, “Baiklah, kita berangkat menuju gunung. Akan kamu lihat seperti apa wajah gunung itu.”

Berangkatlah mereka berdua dengan mengendarai mobil. Perjalanan lumayan lama, karena jarak antara tempat tinggal mereka dengan gunung terdekat bisa menghabiskan waktu empat jam dengan mobil. Jarak yang lumayan jauh. Bahkan sangat jauh untuk ukuran seorang anak usia enam tahun.

Ketika perjalanan sudah menempuh hampir separuh jarak, anak itu berteriak, “Hore, gunungnya sudah kelihatan.” Dari balik kaca mobil, sebuah gunung membiru terlihat begitu anggun. Puncaknya menjulang ke langit nan biru dan menembus awan putih. “Oh, indahnya gunung itu,” ucap sang anak. Ia benar-benar kagum.

Mobil pun terus melaju. Jalan yang ditempuh tidak lagi lurus dan datar, tapi sudah berkelok dan naik turun. Wajah gunung pun terlihat hijau karena dedaunan pohon mulai tampak walaupun cuma didominasi warna. Anak itu berujar lagi, “Oh, ternyata gunung itu berwarna hijau. Ada pohon-pohon kecil yang berjajar.”

Sambil menikmati pemandangan sekitar, anak itu pun menyanyikan lagu: “Naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali…” Hingga, perjalanan berhenti pada sebuah dataran yang sangat tinggi. Dari situlah mereka bukan hanya bisa melihat wajah gunung yang asli, tapi juga bisa memegang dan menginjak gunung. Mereka sudah berada di puncak gunung.

“Gunungnya mana, Yah?” tanya anak itu keheranan. “Inilah wajah gunung yang kamu cari, tanah yang sedang kita injak,” jawab sang ayah sambil menunjuk ke tanah yang menanjak dan menurun. Anak itu agak heran. “Ini? Tanah yang gersang ini? Tanah yang cuma berisi batu dan pohon-pohon kecil dengan air sungainya yang keruh?”

Sang ayah mengangguk pelan. Ia menangkap warna kekecewaan yang begitu dalam pada diri anaknya. “Anakku, mari kita pulang. Mari kita nikmati wajah gunung dari kejauhan. Mungkin, dari sanalah kita bisa mengatakan bahwa gunung itu indah…”

***

Ketika seseorang sudah menjadi ‘gunung-gunung’ di masyarakatnya. Di mana, wajahnya bisa dilihat orang banyak, suaranya didengar banyak orang; akan muncul penasaran orang-orang yang melihat dan mendengar tokoh baru itu. Mereka ingin tahu, seperti apakah wajah sang tokoh ketika dilihat dari dekat: perilakunya, kehidupan rumah tangganya, dan hal-hal detil lain.

Sayangnya, tidak semua ‘gunung’ yang terlihat indah ketika jauh, benar-benar indah di saat dekat. Para peminat yang ingin dekat dengan ‘gunung’ itu pun pasti kecewa. Ternyata, ‘gunung’ yang dari jauh indah itu, menyimpan banyak cacat. Keindahannya semu.

Mari, kita bangun ‘gunung-gunung’ diri yang benar-benar indah: baik dari jauh, apalagi dekat. Jangan biarkan mereka yang semula kagum, menjadi kecewa. Jangan sampai ada orang-orang yang berujar persis seperti sang ayah bilang, “Anakku, mari kita menjauh. Mungkin hanya dari kejauhanlah, kita bisa mengatakan bahwa ‘gunung’ itu indah…”

Hujan

Ada kegundahan tersendiri yang dirasakan seekor anak katak ketika langit tiba-tiba gelap. "Bu, apa kita akan binasa. Kenapa langit tiba-tiba gelap?" ucap anak katak sambil merangkul erat lengan induknya. Sang ibu menyambut rangkulan itu dengan belaian lembut.

"Anakku," ucap sang induk kemudian. "Itu bukan pertanda kebinasaan kita. Justru, itu tanda baik." jelas induk katak sambil terus membelai. Dan anak katak itu pun mulai tenang.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba angin bertiup kencang. Daun dan tangkai kering yang berserakan mulai berterbangan. Pepohonan meliuk-liuk dipermainkan angin. Lagi-lagi, suatu pemandangan menakutkan buat si katak kecil. "Ibu, itu apa lagi? Apa itu yang kita tunggu-tunggu?" tanya si anak katak sambil bersembunyi di balik tubuh induknya.

"Anakku. Itu cuma angin," ucap sang induk tak terpengaruh keadaan. "Itu juga pertanda kalau yang kita tunggu pasti datang!" tambahnya begitu menenangkan. Dan anak katak itu pun mulai tenang. Ia mulai menikmati tiupan angin kencang yang tampak menakutkan.

"Blarrr!!!" suara petir menyambar-nyambar. Kilatan cahaya putih pun kian menjadikan suasana begitu menakutkan. Kali ini, si anak katak tak lagi bisa bilang apa-apa. Ia bukan saja merangkul dan sembunyi di balik tubuh induknya. Tapi juga gemetar. "Buuu, aku sangat takut. Takut sekali!" ucapnya sambil terus memejamkan mata.

"Sabar, anakku!" ucapnya sambil terus membelai. "Itu cuma petir. Itu tanda ketiga kalau yang kita tunggu tak lama lagi datang! Keluarlah. Pandangi tanda-tanda yang tampak menakutkan itu. Bersyukurlah, karena hujan tak lama lagi datang," ungkap sang induk katak begitu tenang.

Anak katak itu mulai keluar dari balik tubuh induknya. Ia mencoba mendongak, memandangi langit yang hitam, angin yang meliuk-liukkan dahan, dan sambaran petir yang begitu menyilaukan. Tiba-tiba, ia berteriak kencang, "Ibu, hujan datang. Hujan datang! Horeeee!"
**

Anugerah hidup kadang tampil melalui rute yang tidak diinginkan. Ia tidak datang diiringi dengan tiupan seruling merdu. Tidak diantar oleh dayang-dayang nan rupawan. Tidak disegarkan dengan wewangian harum.

Saat itulah, tidak sedikit manusia yang akhirnya dipermainkan keadaan. Persis seperti anak katak yang takut cuma karena langit hitam, angin yang bertiup kencang, dan kilatan petir yang menyilaukan. Padahal, itulah sebenarnya tanda-tanda hujan.

Benar apa yang diucapkan induk katak: jangan takut melangkah, jangan sembunyi dari kenyataan, sabar dan hadapi. Karena hujan yang ditunggu, insya Allah, akan datang. Bersama kesukaran ada kemudahan. Sekali lagi, bersama kesukaran ada kemudahan. (mnuh)

Pace

Tak banyak buah yang punya pengalaman buruk seperti pace. Sebelum tahun sembilan puluhan, buah yang biasa disebut mengkudu ini nyaris tak punya kebanggaan sedikit pun. Jangankan manusia, kelelawar pun tak sudi mencicipi. Selain baunya apek, rasanya pahit. Pahit sekali!

Belum lagi dengan bentuk buah yang aneh. Bulatnya tidak rata, dan kulit buah ditumbuhi bintik-bintik hitam. Warnanya juga tidak menarik. Mudanya hijau, tuanya pucat kekuning-kuningan. Berbeda jauh dengan apel, jeruk, mangga, dan tomat. Selain kulitnya mulus, warnanya begitu menarik: hijau segar, merah, dan orange.

Sedemikian tidak menariknya pace, orang-orang membiarkan begitu saja buah-buah pace yang sudah masak. Pace tidak pernah dianggap ketika muda, tua; dan di saat masak pun dibiarkan jatuh dan berhamburan di tanah; membusuk, dan kemudian mengering. Pace sudah dianggap seperti sampah.

Kalau saja pace bisa bicara, mungkin ia akan bilang, "Andai aku seindah apel merah. Andai aku seharum jeruk. Andai aku semolek tomat!" Dan seterusnya.

Perubahan besar pun terjadi di tahun sembilan delapan. Seorang pakar tumbuhan menemukan sesuatu yang lain dari pace. Kandungan buahnya ternyata bisa mengobati banyak penyakit: kanker, jantung, tulang, pernafasan, dan lain-lain. Orang pun memberi nama baru buat pace, morinda citrifolia.

Sejak itu, pace menjadi pusat perhatian. Ia tidak lagi diacuhkan, justru menjadi buruan orang sedunia. Kini, tidak ada lagi pace masak yang dibiarkan jatuh dan berhamburan. Ia langsung diolah dengan mesin canggih higienis, dan masuk golongan obat mahal. Kemuliaan pace sudah jauh di atas apel, jeruk, apalagi tomat.
**

Jalan hidup kadang punya rutenya sendiri. Tidak biasa, lompat-lompat, curam dan terjal. Seperti itulah ketika realitas kehidupan memperlihatkan detil-detilnya yang rumit.

Di antara yang rumit itu, ada kebingungan menemukan tutup peti potensi diri. Semua menjadi seperti misteri. Ada yang mulai mencari-cari, membongkar peti; bahkan ada yang cuma menebak-nebak sambil tetap berpangku tangan. Dalam keputusasaan, orang pun mengatakan, "Ah, saya memang tidak punya potensi." Seribu satu kalimat pengandaian pun mengalir: andai saya...andai saya...andai saya, dan seterusnya.

Kenapa tidak berusaha sabar dengan terus mencari-cari pintu peti potensi. Kenapa tidak mencari alat agar peti bisa terbongkar. Kenapa cuma bisa menebak kalau peti potensi tak berisi. Kenapa cuma diam dan menyesali diri. Padahal boleh jadi, kita bisa seperti pace yang punya potensi tinggi. Sayangnya belum tergali. (mnuh)

macam - macam puasa sunnah

Segala pujian yang terbaik hanya milik Alloh Ta’ala yang telah mensyariatkan bagi hamba-Nya ibadah-ibadah yang sunnah di samping ibadah yang wajib. Sehingga kaum muslimin mempunyai kesempatan yang amat banyak untuk menutupi dan menambal kekurangan yang ada pada ibadah-ibadah wajib. Dan juga sebagai simpanan yang dapat memperberat timbangan di hari kiamat kelak. Di antara ibadah sunnah yang disyariatkan oleh Alloh kepada umat ini adalah puasa sunnah.
Adapun macam-macam puasa sunnah beserta keutamaannya masing-masing yaitu:

  1. Puasa enam hari di bulan Syawal, baik dilakukan secara berturutan ataupun tidak. Keutamaan puasa romadhon yang diiringi puasa Syawal ialah seperti orang yang berpuasa selama setahun (HR. Muslim).
  2. Puasa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, yang dimaksud adalah puasa di sembilan hari yang pertama dari bulan ini, tidak termasuk hari yang ke-10. Karena hari ke-10 adlah hari raya kurban dan diharomkan untuk berpuasa.
  3. Puasa hari Arofah, yaitu puasa pada hari ke-9 bulan Dzuhijjah. Keutamaan: akan dihapuskan dosa-dosa pada tahun lalu dan dosa-dosa pada tahun yang akan datang (HR. Muslim). Yang dimaksud dengan dosa-dosa di sini adalah khusus untuk dosa-dosa kecil, karena dosa besar hanya bisa dihapus dengan jalan bertaubat.
  4. Puasa Muharrom, yaitu puasa pada bulan Muharrom terutama pada hari Assyuro’. Keutamaannya adalah bahwa puasa di bulan ini adalah puasa yang paling utama setelah puasa bulan Romadhon (HR. Bukhori)
  5. Puasa Assyuro’. Hari Assyuro’ adalah hari ke-10 dari bulan Muharrom. Nabi sholallohu ‘alaihi wasssalam memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari Assyuro’ ini dan mengiringinya dengan puasa 1 hari sebelum atau sesudahnhya. Hal ini bertujuan untuk menyelisihi umat Yahudi dan Nasrani yang hanya berpuasa pada hari ke-10. Keutamaan: akan dihapus dosa-dosa (kecil) di tahun sebelumnya (HR. Muslim).
  6. Puasa Sya’ban. Disunnahkan memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban. Keutamaan: bulan ini adalah bulan di mana semua amal diangkat kepada Robb semesta alam (HR. An-Nasa’i & Abu Daud, hasan).
  7. Puasa pada bulan Harom (bulan yang dihormati) yaitu bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharrom, dan Rojab. Dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah pada bulan-bulan tersebut termasuk ibadah puasa.
  8. Puasa Senin dan Kamis. Namun tidak ada kewajiban mengiringi puasa hari Senin dengan puasa hari Kamis atau sebaliknya. Keduanya merupakan hari di mana amal-amal hamba diangkat dan diperlihatkan kepada Alloh.
  9. Puasa tiga hari setiap bulan. Disunnahkan untuk melakukannya pada hari-hari putih (Ayyaamul Bidh) yaitu tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan. Sehingga tidaklah benar anggapan sebagian orang yang menganggap bahwa puasa pada harai putih adalah puasa dengan hanya memakan nasi putih, telur putih, air putih, dsb.
  10. Puasa Dawud, yaitu puasa sehari dan tidak puasa sehari. Keutamaannya adalah karena puasa ini adalah puasa yang paling disukai oleh Alloh (HR. Bukhori-Muslim).

Demikianlah beberapa jenis puasa sunnah yang disyariatkan dalam agama ini. Kita memohon kepada Alloh agar diberikan rasa cinta dalam diri kita terhadap amalan yang dapat mendekatkan diri ini kepadaNya.

————————————————-

*) disadur dari buletin Jumat At-Tauhid Jogja

Tata Cara Menuntut Ilmu

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin
Friday, 04 January 2008

Barang siapa belum menekuni dasar-dasar ilmu, niscaya tidak akan bisa menguasai ilmu yang diinginkan. Barang siapa yang ingin mendapatkan ilmu langsung sekaligus, maka ilmu itu akan hilang dari dia secara sekaligus pula. Ada sebuah ungkapan: "Penuh sesaknya ilmu yang didengarkan secara berbarengan akan menyesatkan pemahaman." Dari sini, maka harus ada pendasaran terhadap setiap ilmu yang ingin engkau kuasai dengan cara menekuni dasar-dasar ilmu dan kitab yang ringkas pada seorang guru yang mumpuni, bukan dengan cara otodidak saja serta harus berjenjang dalam belajar.

Allah SWT berfirman (yang artinya), "Dan Al-Qur'an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian." (Al-Israa': 106).

"Berkatalah orang-orang kafir: 'Mengapa Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?' Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)." (Al-Furqaan: 32).

"Orang-orang yang telah kami beri al-kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya ...." (Al-Baqarah: 121).

Dasar ilmu itu didasarkan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah juga pada beberapa kaidah yang diambil dari hasil penelitian dan pengamatan yang sempurna terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ini adalah yang paling penting yang harus dikuasai oleh seorang penuntut ilmu.

Sebagai contoh adalah kaidah: "Di mana ada kesulitan di situ ada kemudahan." Kaidah ini bersuddmber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil dari Al-Qur'an di antaranya sebagai berikut. ".... Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan ....""Shalatlah dengan berdiri, lalu jika engkau tidak mampu maka dengan duduk, dan kalau tidak mampu juga maka dengan berbaring." (HR Bukhari). Juga, sabda beliau, "Kalau saya perintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, maka kerjakanlah semampu kalian." (HR Bukhari dan Muslim). (Al-Hajj: 78). Adapun dalil dari As-Sunnah adalah sabda Rasulullah saw. kepada Umran bin Hushain:

Ini adalah sebuah kaidah yang jika engkau membawakan seribu masalah yang bermacam-macam, niscaya engkau akan bisa menghukuminya berdasarkan pada kaiah ini. Namun, seandainya engkau tidak mengetahui sebuah kaidah, engkau akan sulit memecahkan meskipun hanya dua permasalahan sekalipun.

Berikut ini beberapa perkara yang harus engkau perhatikan pada setiap disiplin ilmu yang hendak engkau pelajari.

  1. Menghafal kitab ringkasan tentang ilmu tersebut.
  2. Menguasainya dengan bimbingan guru yang ahli di bidangnya.
  3. Tidak menyibukkan diri dengan kitab-kitab besar yang panjang lebar merinci permasalahan sebelum menguasai pokok permasalahannya.
  4. Tidak pindah dari satu kitab ke kitab lainnya tanpa ada sebab (tuntutan), karena ini termasuk sifat bosan.
  5. Mencatat faidah dan kaidah ilmiah.
  6. Membulatkan tekad untuk menuntut ilmu dan meningkatkan keilmuannya, serta penuh perhatian dan mempunyai keinginan keras untuk bisa mencapai derajat yang lebih tinggi sehingga bisa menguasai kitab-kitab besar dan panjang lebar dengan sebuah dasar yang kokoh.

Pertama, Menghafal Kitab yang Ringkas tentang Ilmu Tersebut

Misalnya, kalau engkau menginginkan mempelajari ilmu nahwu, hafalkanlah kitab yang ringkas tentang nahwu. Kalau baru mulai belajar, engkau bisa menghafalkan Al-Ajrumiyyah, karena kitab ini jelas dan lengkap. Lalu, lanjutkan ke matan Alfiyah karya Imam Ibnu Malik, karena kitab ini adalah inti sari ilmu nahwu.

Dalam ilmu fiqih, hafalkanlah kitab Zaadul Mustaqni', karena kitab ini telah disyarah (diulas), diberi catatan kaki, dan diajarkan, meskipun sebagian matan yang lain ada yang lebih baik dari satu sisi, namun kitab ini lebih baik dari sisi banyaknya permasalahan yang terdapat padanya, juga dari sisi sudah diberi syarah dan catatan kaki.

Dalam ilmu hadits, hafalkanlah 'Umdatul Ahkaam, dan kalau mau lebih, hafalkanlah Buluughul Maraam. Dan, kalau engkau baru memilih salah satu di antara keduanya, hafalkanlah Buluughul Maraam saja, karena kitab ini lebih baik dan haditsnya lebih banyak, juga karena pengarangnya Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menjelaskan derajat haditsnya, yang hal ini tidak terdapat pada kitab 'Umdatul Ahkam. Walaupun sebenarnya derajat hadits pada kitab 'Umdatul Ahkam sangat jelas, karena kitab ini tidak memasukkan kecuali hadits yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Dalam ilmu tauhid, yang terbaik adalah kitab Tauhid karya Syaikul Islam Muhammad bin 'Abdul Wahhab. Dan, akhir-akhir ini sudah ada yang menakhrij hadits-haditsnya serta menjelaskan yang dha'if pada sebagiannya.

Dalam bab nama dan sifat Allah, yang terbaik adalah kitab Al-Aqiidah al-Waasithiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Kitab ini lengkap, penuh berkah dan faedah. Dan, begitu seterusnya, ambillah dalam setiap disiplin ilmu kitab yang ringkas, lalu hafalkanlah.

Kedua, Menghafalnya dengan Bimbingan Guru yang Ahli di Bidangnya

Mintalah keterangan kitab yang engkau pelajari kepada seorang guru yang baik, ahli, dan amanah. Hal ini agar lebih selamat dari penyimpangan pemahaman. Juga, engkau akan lebih mudah dalam memahami dan lebih cepat.

Imam Ash-Shafadi berkata: "Oleh karena itu, para ulama berkata: 'Janganlah kamu belajar dari seorang shahafi (orang yang belajarnya otodidak) juga jangan dari mush-hafi (orang yang belajar baca Al-Qur'an secara otodidak).' Maksudnya, jangan kamu belajar Al-Qur'an dari seseorang yang hanya belajar lewat mush-haf, dan jangan belajar hadits dan ilmu lainnya dari orang yang belajarnya otodidak."

Oleh karena itu, kita dapati ribua biografi para ulama dari zaman ke zaman dalam berbagai dimensi ilmu selalu penuh memuat nama-nama guru dan murid-muridnya, baik yang sedikit maupun banyak. Dan, lihatlah para ulama yang banyak gurunya, sehingga ada di antara mereka yang gurunya mencapai ribuan, sebagaimana biografi ulama bujangan dalam kitab Al-Isfaar.

Tidak disarankannya belajar secara otodidak atau kepada orang yang belajarnya otodidak dimaksudkan untuk terhindar dari bacaan atau pemahaman yang menyimpang. Dan, tidak disarankannya belajar tanpa guru jika kitab yang engkau baca tidak ada keterangnnya. Adapun kalau kitab itu ada keterangannya seperti mush-haf Al-Qur'an yang terdapat pada zaman sekarang, maka urusannya lain. Karena, hal itu sudah jelas. Tetapi, jika kitab yang engkau baca itu tidak ada penjelasannya atau keterangannya, hendaknya engkau didampingi oleh seorang guru agar terhidar dari bacaan atau pemahaman yang salah.

Ketiga, Tidak Menyibukkan Diri dengan Kitab-Kitab Besar dan Panjang

Ini masalah yang penting bagi pelajar, yaitu hendaknya dia menguasai kitab-kitab yang ringkas terlebih dahulu, baru nanti masuk pada kitab-kitab yang besar. Tetapi, ada sebagian pelajar yang bersikap aneh, dia mempelajari kitab yang besar, lalu apabila duduk di sebuah majelis ilmu, dia berkata, "Telah berkata pengarang kitab ini, berkata pengarang kitab itu, dan seterusnya." Ini untuk menunjukkan bahwa dia banyak membaca kitab. Bagi pelajar pemula, ini langkah yang tidak tepat. Kami nasihatkan, mulailah dari kitab yang kecil dan ringkas, lalu apabila sudah engkau kuasai dengan baik, barulah engkau menyibukkan diri dengan kitab-kitab yang besar dan panjang.

Keempat, Jangan Berpindah dari Satu Kitab ke Kitab Lainnya tanpa Ada Sebab

Berpindah dari satu kitab ke kitab lainnya, baik kitab yang ringkas atau yang tebal-tebal, merupakan penyakit yang berbahaya, yang akan bisa memutus pelajaran seseorang serta membuang-buang waktunya. Kecuali, hal itu ada sebabnya, misalnya engkau tidak menemukan guru yang bisa mengajarkan kitab itu, tetapi menemukan guru lain yang bagus dan amanah yang mengajarkan kitab ringkas lainnya.

Kelima, Mencatat Faedah dan Kaidah Ilmiah

Ini juga perkara yang penting. Kalau ada sebuah faedah yang hampir-hampir tidak pernah terbayangkan di pikiran atau jarang disebut dan dibahas atau ada perkara baru yang perlu untuk diketahui hukumnya, segeralah menulis dan mencatatnya, jangan berkata: "Itu sesuatu yang saya ketahui dengan baik, tidak perlu mencatatnya, insya Allah saya tidak akan lupa." Karena, engkau akan sanat cepat melupakannya.

Adapun mengenai kaidah, pahamilah dengan baik serta bersungguh-sungguhlah dalam memahami apa yang disebutkan para ulama tentang alasan sebuah hukum. Karena, semua alasan yang berhubungan dengan hukum masalah fiqih bisa dianggap sebuah kaidah karena merupakan dalil dari sebuah hukum. Alasan dan sebab ini sangat banyak dan setiap sebab mencakup banyak permasalahan lainnya. Misalkan kalau ada yang berkata, "Apabila ada orang yang ragu-ragu apakah air ini suci atau najis, maka hukumnya didasarkan pada yang diyakininya." Ini merupakan sebuah hukum sekaligus sebuah kaidah, karena pada dasarnya segala sesuatu itu sama dengan keadaan sebelumnya. Jadi, apabila Anda ragu-ragu tenang kejanisan sesuatu yang suci, maka pada dasarnya ia suci. Atau sebaliknya, ragu-ragu tentang sucinya sesuatu yang najis, maka pada dasarnya najis. Karena, pada dasarnya segala sesuatu tetap pada keadaan semula.

Oleh karena itu, seandainya seseorang setiap kali menemukan alasan hukum semacam ini, lalu memahaminya dan menguasainya, kemudian digunakan untuk menjawab berbagai permasalahan, maka ini merupakan sebuah faidah yang besar bagi dirinya maupun orang lain.

Keenam, Membulatkan Tekad untuk Menuntut Ilmu dan Meningkatkannya, Penuh Perhatian dan Mempunyai Keinginan Keras untuk Bisa Mencapai Derajat yang di Atasnya sehingga Bisa Menguasai Kitab-Kitab Besar dan Pnjang Lebar dengan Sebuah Dasar yang Kokoh

Seorang pelajar hendaknya membulatkan tekad untuk menuntut ilmu. Jangan tengok kanan, tengok kiri. Sehari belajar, sehari untuk buka toko, besoknya lagi untuk jualan sayuran. Perbuatan ini tidak disarankan.

Selama engkau masih yakin bahwa belajar adalah jalan hidupmu, maka bulatkan tekad dan konsentrasikan pikiranmu padanya, serta bertekadlah untuk bisa terus maju, jangan jalan di tempat. Pikirkanlah apa yang sudah engkau kuasai dari berbagai dalil dan permasalahan sehingga engkau bisa semakin naik tingkat sedikit demi sedikit.

Ketahuilah, bahwa mempelajari kitab-kitab yang ringkas kemudian baru kitab-kitab yang panjang yang dibuat untuk pendasaran dalam belajar oleh para ulama berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya, tergantung perbedaan madzhab dan tergantung pula dengan ilmu yang dikuasai oleh para ulama di daerah tersebut. Juga, keadaan ini berbeda antara satu murid dengan yang lainnya karena perbedaan tingkat kepahaman, kekuatan atau lemahnya persiapan, bebal atau encernya otak.

Sumber: Diringkas dari Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, terj. Ahmad Sabiq, Lc (Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2005); judul asli: Syarah Hilyah Thaalibil 'Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin (Maktabah Nurul Huda, 2003).

Oleh: Abu Annisa

Adab Seorang Pelajar Terhadap Dirinya Sendiri

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin
Friday, 04 January 2008
Dalam kajian ini ada beberapa poin yang harus diperhatikan bagi seorang penuntut ilmu, yaitu sebagai berikut.
  1. Ilmu adalah Ibadah
    Sesuatu yang paling pokok dari adab ini, bahkan pada semua perkara yang dianjurkan, adalah engkau harus meyakini bahwa ilmu adalah ibadah. Bahkan, hal itu merupakan ibadah yang paling agung dan paling utama, sehingga Allah menjadikannya sebagai bagian dari jihad fisabilillah. Allah SWT berfirman (yang artinya), ".... Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya."
    (At-Taubah: 122).

    Rasulullah saw. juga bersabda (yang artinya), "Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi baik, maka akan diberi kepahaman dalam perkara agama." (HR Bukhari dan Muslim, dari hadits Mu'awiyah).

    Apabila Allah menganugerahkan kepadamu kepahaman dalam masalah agama ini, yang meliputi segenap ilmu syar'i, baik ilmu tauhid, aqidah, atau lainnya, maka berbahagialah, karena berarti Allah menginginkan kebaikan bagimu.

    Imam Ahmad rhm. berkata, "Ilmu itu sesuatu yang tiada bandingnya bagi orang yang niatnya benar." Orang-orang bertanya kepada beliau, "Bagaimanakah benarnya niat itu, wahai Abu Abdillah?" Imam Ahmad rhm. menjawab, "Yaitu berniat untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain."

    Dari sini, maka syarat diterimanya ibadah adalah sebagai berikut.

    1. Niat yang ikhlas karena Allah Ta'ala semata.
      Allah SWT berfirman, "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus ...." (Al-Bayyinah: 5).

      Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya semua amal itu tergantung pada niatnya." (HR Bukhari, dari hadits Umar bin Khatbtbab). Apabila ilmu itu tidak didasari dengan niat yang ikhlas, dia berubah dari ibadah yang paling mulia menjadi kemaksiatan yang paling hina. Apabila ada yang bertanya bagaimana caranya agar bisa ikhlas dalam menuntut ilmu, jawabannya bahwa ikhlas dalam menuntut ilmu itu bisa dicapai dengan beberapa cara.
      Pertama, harus berniat bahwa menuntut ilmu itu untuk menjalankan perintah Allah. Kedua, harus berniat untuk menjaga syariat Allah. Karena, menjaga syariat Allah itu bisa dilakukan dengan belajar, baik dengan cara menghapal, menulis, juga mengarang kitab. Ketiga, harus berniat untuk membela syariat Allah. Karena, seandainya tidak ada ulama, maka syariat ini tidak akan terjamin kebenarannya, juga tidak ada seorang pun yang akan membelanya. Keempat, harus berniat untuk mengikuti ajaran Rasulullah. Karena, seseorang tidak mungkin bisa mengikuti ajaran beliau kecuali jika orang itu mengetahuinya terlebih dahulu.

      Berangkat dari sini, maka hendaklah setiap penuntut ilmu selalu konsisten untuk memurnikan niat dari semua yang akan merusak komitmen, seperti senang popularitas, ingin lebih unggul dibanding dengan teman sebayanya, atau menjadikannya alat mencapai tujuan tertentu, misalnya pangkat, kekayaan, kehormatan, dll. Karena, itu semua jika sudah mengotori niat seorang penuntut ilmu, ia akan merusaknya, dan lenyaplah barokah ilmu itu. Oleh karena itu, setiap penuntut ilmu wajib menjaga niat dari segala tujuan selain ikhlas, bahkan ia pun harus menjaga hal-hal yang meliputinya.

      Imam Sufyan rhm. berkata, "Dulu saya mampu memahami Al-Qur'an, namun tatkala saya menerima hadiah, maka hilanglah kepahaman itu." Adapun yang dimaksud hadiah di sini adalah hadiah dari seorang penguasa. Para ulama sangat memahami masalah ini, sehingga mereka sangat hati-hati menerima pemberian penguasa. Mereka berkata, "Para penguasa itu tidak akan memberikan sesuatu apa pun kepada kita, kecuali untuk membeli agama kita dengan harta dunia mereka." Oleh karena itu, kita dapati para ulama tersebut tidak bersedia menerimanya. Juga, disebabkan oleh karena harta kekayaan para penguasa pada zaman dahulu itu biasanya diperoleh dengan cara yang tidak halal.

      Sesungguhnya telah kita ketahui bersama bahwa seorang ulama tidak boleh menerima pemberian penguasa kalau memang bertujuan untuk menjadikannya tunggangan sehingga dapat mengendalikannya. Adapun kalau harta kekayaan sang penguasa tersebut bersih dan sang alim menerimanya tidak untuk menjual agamanya, maka diperbolehkan menerimanya, sebagaimana sabda Rasulullah saw. kepada Umar r.a., "Harta ini kalau datang kepadamu tanpa engkau harapkan dan tanpa engkau minta, maka ambillah, juga selagi tidak diinginkan oleh nafsumu." (HR Bukhari dan Muslim). Adapun tujuan Imam Sufyan dari perkataan beliau di atas adalah untuk memperingatkan orang lain dari perkara ini dan mencela apa yang dulu beliau lakukan.

      Diriwayatkan dari Sufyan bin Sa'id ats-Tsauri rhm., bahwasannya beliau berkata, "Tidak ada sesuatu yang aku usahakan untuk diperbaiki yang lebih berat daripada keikhlasan niatku."

    2. Mengikuti Sunnah Rasulullah saw.
      Allah SWT berfirman, "Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu ...." (Ali Imran: 31).

      Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitab Raudhatul Muhibbin bahwa semua aktivitas manusia itu didasari dengan rasa cinta. Seseorang tidak akan berniat untuk berbuat sesuatu kecuali yang memberikan manfaat atau menghilangkan mudharat pada dirinya, karena semua orang menginginkan berbuat sesuatu yang bisa memberinya manfaat dan membenci sesuatu yang membahayakannya. Adapun cinta kepada Rasulullah saw. akan membuatmu mengikuti beliau secara lahir maupun bathin, karena orang yang sedang jatuh cinta akan mengikuti kekasihnya, sampai pada urusan dunia sekalipun, mengikuti cara berpakaian, mengikuti cara berbicara, mengikuti tingkah lagu, dan seterusnya. Oleh karena itu, jika engkau benar-benar mencintai Rasulullah saw., maka engkau akan mengikuti Sunnah beliau. Syaikh Bakar menyebut sebuah ayat yang oleh para ulama salaf disebut sebagai ayat ujian, karena ada sebagian orang yang mengaku mencintai Allah, maka Allah pun berfirman, "Katakanlah (wahai Muhammad): 'Kalau memang engkau mencintai Allah, ikutilah aku'." Apa jawaban dari syarat ini? Jawaban sebenarnya adalah: "Ikutilah aku, baru engkau benar-benar jujur dalam pengakuanmu." Sekarang jadilah syarat dan yang disyaratkan itu adalah "jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, maka baru kalian jujur dalam pengakuan kalian," namun ternyata jawaban dalam ayat tersebut adalah "Ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian." Ini sebagai sebuah isyarat bahwa inti permasalahan ini adalah agar Allah mencintaimu dan bukan bagaimana engkau mencintai-Nya, karena semua orang mengaku mencintai Allah, padahal sebenarnya tidak.

  2. Ikutilah Jalan Salafush Shaleh
    Setiap penuntut ilmu hendaklah mengikuti jalan yang ditempuh oleh para salafush shaleh dari kalangan para sahabat serta orang-orang setelah mereka yang mengikuti jejak mereka dalam semua masalah agama, mulai dari masalah tauhid, ibadah, dan selainnya. Tetaplah konsisten untuk mengikuti Sunnah Rasulullah saw. dan merealisasikannya dalam kehidupanmu dan jauhilah perdebatan, jauhilah mempelajari ilmu kalam (filsafat), serta jauhilah segala hal yang mendatangkan dosa dan menjauhkan dari syariat Allah Ta'ala.

    Ini adalah masalah yang sangat penting. Seseorang harus mengikuti jejak salafush shaleh pada semua permasalahan agama, mulai dari masalah tauhid, ibadah, muamalah, dan sebagainya. Juga, harus meninggalkan perdebatan, karena perdebatan adalah pintu yang menutupi jalan kebenaran, dikarenakan seseorang yang berdebat akan banyak berbicara dan hanya untuk membela diri saja. Sehingga, seandainya sudah jelas baginya suatu kebenaran namun tetap menolaknya, atau membawanya kepada penafsiran yang munkar demi membela diri dan memaksa lawan debat untuk menerima pendapatnya. Maka, jika engkau menjumpai lawan debatmu masih terus membangkang, padahal sebenarnya sudah nampak kebenaran itu, maka jauhilah dia.

    Selain menjauhi perdebatan, mempelajari ilmu kalam juga membuang-buang waktu, karena ilmu ini membahas sesuatu yang sangat amat jelas. Pernah suatu hari saya mengajar, ada seorang murid yang bertanya, "Apakah akal itu?" Lalu dia menerangkan kepadaku definisi akal secara bahasa, istilah, adat kebiasaan, dan syar'i. Ini adalah sesuatu yang tidak punya definisi, namun ilmu kalam memasukkan hal-hal itu kepada kita. Kita dengar ada yang bertanya, "Apakah akal itu?" Subhanallah!

    Yang jelas bahwa orang yang duduk termenung memikirkan apa definisi akal telah menjadi gila, karena ini adalah sesuatu yang tidak butuh didefinisikan. Ahli kalam menghalangi manusia dari mempelajari kebenaran dan manhaj salaf yang mudah dengan segala subhat, berbagai definisi, batasan, dan lainnya. Lihatlah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tatkala membantah orang-orang ahli manthiq (jilid ke-9 dan ke-10 Majmuu' Fataawa), niscaya akan jelas perkara ini bagimu, atau lihatlah kitab Naqdhul Manthiq. Kitab ini lebih ringkas dan lebih bisa dipahami oleh para penuntut ilmu, niscaya akan jelas bagimu kesesatan mereka. Apakah yang menjadikan para ulama menakwilkan ayat-ayat tentang sifat Allah? Tidak lain adalah ilmu kalam. Mereka mempersembahkan kepadamu ilmu yang hanya akan menyesatkanmu, meskipun mereka menyangka memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.

    Berakata Imam Adz-Dzahabi (lihat Siyar A'laamin Nubalaa' [XVI/57]): "Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Imam Ad-Daruquthni bahwasanya beliau berkata: 'Tidak ada sesuatu yang lebih saya benci melebihi ilmu kalam.' Saya (Adz-Dzahabi) berkata: 'Padahal beliau sama sekali belum pernah belajar ilmu kalam, juga ilmu perdebatan, serta belum pernah mendalaminya, akan tetapi beliau adalah seorang salafi.'."

    Beliau sangat membenci ilmu kalam karena memang ilmu ini mempunyai banyak pengaruh negatif: memperpanjang sebuah permasalahan tanpa ada faidahnya, membuat ragu sesuatu yang sudah pasti, menggoncangkan akal pikiran, serta menolak Sunnah. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa tidak ada yang paling membahayakan aqidah umat Islam dari ilmu kalam dan manthiq. Dari sini, maka banyak tokoh-tokoh kaliber ilmu kalam yang pada akhir hayatnya mengakui bahwasannya mereka kembali kepada aqidahnya orang-orang awam, juga kembali kepada fitrahnya setelah mengetahui keruskaan ilmu kalam.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Al-Fataawa al-Hamawiyah (Majmuu' Fataawa [V/118]): "Kebanyakan orang yang dikhawatirkan menjadi sesat adalah orang yang masih sedang-sedang dalam mempelajari ilmu kalam, karena orang yang sama sekali tidak pernah mempelajarinya akan selamat dari bahayanya, sedangkan orang yang mencapai puncaknya ilmu kalam pasti akan mengetahui kerusakan dan kebathilannya, maka dia akan bertaubat."

    Ilmu kalam ini sangat berbahaya karena berhubungan dengan Sifat dan Dzat Allah, menolak nash dan menuhankan akal. Mereka memiliki prinsip yang bertentangan dengan apa yang ditempuh para salaf. Prinsip atau kaidah-kaidah yang mereka gunakan sama sakali tidak berdasar, mereka sesat dan menyesatkan, mereka juga ragu-ragu dan bingung. Oleh karena itu, orang yang paling bingung pada akhir hayatnya adalah para ulama kalam. Mereka mengutak-atik apakah Allah itu benda konkret atau abstrak, apakah Dia berdiri sendiri atau butuh lainnya, apakah Allah berbuat atau tidak, dan begitu seterusnya sampai saat kematian menjemput dia masih ragu-ragu. Kita memohon kepada Allah semoga selamat dari bencana ini.

    Adapun jika jalan yang ditempuh adalah jalan ulama salaf, maka urusannya akan menjadi mudah dan hatinya tidak akan terhinggapi penyakit bingung dan ragu-ragu. Mereka Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang mengikuti Sunnah Rasulullah. Merekalah orang-orang yang dikatakan oleh Syakhul Islam Ibnu Taimiyah: "Ahlus Sunnah adalah umat Islam yang bersih dan sebaik-baik manusia bagi manusia lainnya." (Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah [V/158]).

    Maka, tetaplah mengikuti jalan ini dan jangan mengikuti jalan-jalan lainnya yang akan memisahkan kalian dari jalan Allah. ".... Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya ...." (Al-An'aam: 153).

  3. Senantiasa Takut kepada Allah Ta'ala
    Allah SWT berfirman, ".... Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama ...." (Faathir: 28).
    Imam Ahmad rhm. berkata, "Inti ilmu adalah rasa takut kepada Allah."
    Jika seseorang telah mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, dia akan taat kepada Allah dengan sebenar-benarnya dari hati sanubarinya. Maka, senantiasa takutlah kepada Allah, baik dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan. Dengan demikian, ilmu itu menuntut untuk diamalkan, karena jika seorang ulama tidak mengamalkan ilmunya, dia akan menjadi orang yang pertama kali dimasukkan ke dalam neraka pada hari kiamat nanti. Seorang ulama yang tidak mengamalkan ilmunya akan diazab sebelum para penyembah berhala. Ini adalah kerugian pertama bagi yang tidak mengamalkan ilmunya.

    Orang yang tidak mengamalkan ilmunya juga akan gagal dalam proses belajarnya, ilmunya tidak akan membawa berkah, juga dia akan menjadi lupa, sebagaimana firman Allah Ta'ala, "(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dati tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya ...." (Al-Maa-idah: 13).

    Adapun jika seseorang itu mengamalkan ilmunya, maka Allah Ta'ala menambahkan petunjuk baginya, sebagaimana fiaman-Nya, "Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka ...." (Muhammad: 17).

  4. Selalu Merasa Diawasi oleh Allah Ta'ala
    Hiasilah dirimu dengan merasa selalu mendapatkan pengawasan dari Allah Ta'ala, baik dalam keadaan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Berjalanlah menuju Rabbmu dengan rasa takut dan penuh harapan, karena bagi seorang muslim keduanya bagaikan dua sayap burung, hadapkan dirimu semuanya kepada Allah, penuhilah hatimu dengan rasa cinta kepada-Nya dan lisanmu dengan selalu berdzikir kepada-Nya, serta selalu gembira, senang, suka dengan semua hukum dan hikmah-Nya.

    Selalu merasa diawasi oleh Allah adalah buah dari rasa takut kepada-Nya. Jikalau seseorang selalu merasa bersama Allah, dalam beribadah dia akan merasa dilihat oleh Allah, saat ingin mendirikan shalat lalu berwudhu seakan-akan dia menunaikan perintah Allah SWT dalam firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu ...." (Al-Maa-idah: 6).

    Dan, seakan-akan dia melihat Rasulullah saw. sedang berwudhu lalu bersabda, "Barang siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini ...." (HR Bukhari dan Muslim). Begitulah kesempurnaan merasa diawasi oleh Allah, dan ini adalah sesuatu yang sangat penting.

    Perkataan syaikh: "Hendaklah seseorang itu selalu berjalan antara rasa takut dan penuh harap, karena keduanya bagi seorang muslim semacam dua sayap burung," ini adalah salah satu pendapat para ulama tentang manakah yang lebih utama apakah seseorang itu harus menyatukan antara rasa takut dan harap ataukah mengutamakan rasa takut, ataukah sebaliknya, lebih mengutakaman rasa harap.

    Imam Ahmad rhm. berpendapat, "Hendaknya seseorang itu menyatukan antara rasa takut dan harap, kalau salah satu di antara keduanya lebih kuat, akan rusaklah iman orang tersebut."

    Sebagian ulama merinci masalah ini, mereka mengatakan, "Apabila engkau ingin melakukan perbuatan ketaatan, utamakan rasa berharap bahwa jika engkau melakukan amalan itu niscaya Allah akan menerimanya dan mengangkat derajatmu. Namun, apabila engkau hendak melaksanakan semua kemaksiatan, maka utamakanlah rasa takut sehingga engkau tidak jadi melakukannya. Nah, atas dasar inilah, maka tentang mana yang diutamakan antara dua hal tersebut adalah tergantung pada keadaan seseorang itu sendiri.

  5. Tawadhu', Rendah Hati, dan Tidak Sombong dan Congkak
    Hiasilah dirimu dengan etika-etika jiwa (hati), berupa menjaga kehormatan diri, santun, sabar, rendah hati dalam menerima kebenaran, berperilaku tenang dengan sikap yang berwibawa, teguh serta tawadhu, juga mampu menanggung beban berat selama belajar demi memperoleh kemuliaan ilmu serta bersedia tunduk pada kebenaran.

    Oleh karena itu, hidarilah segala perilaku yang akan merusak adab ini, karena disamping mengundang dosa juga akan menunjukkan bahwa ada cacat pada akalmu, serta engkau tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan mampu mengamalkannya. Maka dari itu, jauhilah sikap sombong, karena itu adalah kemunafikan dan sikap takabbur. Dulu para ulama salaf amat sangat keras dalam menjaga diri dari kesombongan.

    Adz-Dzahabi dalam biografi 'Amr bin Al-Aswad al-'Ansy rhm. yang wafat pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan rhm., konon apabila beliau keluar dari masjid pasti menggenggamkan tangan kanan pada tangan kirinya. Tatkala beliau ditanya: "Mengapa berbuat begitu?" Beliau menjawab: "Saya khawatir tangan saya ini akan berbuat kemunafikan." Saya berkata, "Beliau menggenggamnya karena takut akan melenggangkan tangannya tatkala sedang berjalan, karena perbuatan itu termasuk kesombongan." (Lihat Siyar A'laaamin Nubalaa' [IV/80]).

    Ini adalah sesuatu yang tidak sengaja dilakukan oleh Al-Ansy rhm., oleh karena itu berhati-hatilah terhadap kesombongan yang merupakan penyakit para diktator. Kelancangan pada gurumu adalah kesombongan, keangkuhanmu pada orang yang telah mengajarkan ilmu kepadamu hanya karena umurnya lebih muda daripada engkau merupakan suatu kesombongan, engkau sembrono tidak mengamalkan ilmumu adalah lumpur kesombongan dan tanda diharamkan ilmu itu darimu. Ilmu itu musuh bagi pemuda yang sombong, seperti aliran air juga musuh bagi tempat yang tinggi.

  6. Qana'ah (Puas) dan Zuhud
    Qana'ah adalah sikap paling utama yang harus dimiliki seorang penuntut ilmu, maksudnya yaitu menerima apa adanya yang diberikan oleh Allah Ta'ala serta tidak menginginkan menjadi orang yang kaya raya. Karena, sebagian para pelajar ingin mengikuti tren orang-orang kaya, maka akhirnya dia banyak mengeluarkan biaya. Oleh karena itu, hendaklah engkau menjadi orang yang qana'ah karena sifat ini adalah sebaik-baik bekal bagi seorang muslim.

    Adapun yang dimaksud zuhud di sini adalah tidak berbuat yang haram serta menjauhkan diri dari segala sesuatu yang bisa menjerumuskan pada keharaman dengan cara menahan diri dari segala syubhat, juga tidak menginginkan terhadap apa yang dimiliki orang lain.

    Diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi'i rhm bahwasannya beliau berkata, "Seandainya ada seseorang yang berwasiat agar memberikan sesuatu kepada orang yang paling berakal, maka harus diberikan kepada orang-orang yang zuhud." Menapa demikian, sebab orang yang zuhud adalah orang yang paling berakal, karena mereka menjahui segala yang tidak membawa manfaat bagi akhirat mereka.

    Dulu guru kami, Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi (beliau wafat 17/12/1393 H), adalah orang yang sangat zuhud pada urusan dunia. Saya menyaksikan bahwa beliau tidak pernah memiliki lembaran uang dalam jumlah besar. Pernah suatu hari beliau berbicara kepadaku: "Saya datang dari negeri Syinqith dengan membawa modal yang jarang dimiliki orang lain, yaitu rasa qana'ah, seandainya saya menginginkan jabatan, saya akan bisa mencapainya, namun saya tidak akan mementingkan urusan duniaku di atas akhiratku, saya tidak akan menjadikan ilmu ini untuk memperoleh kedudukan duniawi." Semoga Allah mencurahkan kepada beliau keluasan rahmat-Nya.

  7. Hiasilah Diri dengan Keindahan Ilmu
    Menghiasi diri dengan keindahan ilmu berupa bagusnya budi pekerti, bersikap tenang, berwibawa, khusus, tawadhu, dan senantiasa bersikap istiqamah secara lahir maupun batin, serta tidak melakukan segala yang bisa merusaknya.

    Imam Ibnu Sirin berkata, "Dulu para ulama mempelajari budi pekerti sebagaimana mereka mempelajari ilmu." (Diriwayatkan oleh Al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Jaami' [9]).

    Dari Raja' bin Haiwah, beliau berkata kepada seseorang, "Sampaikanlah kepadaku sebuah hadits, tetapi jangan sampaikan hadits dari riwayat orang yang pura-pura mati, juga jangan dari orang yang suka mencela." (Diriwayatkan oleh Al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Jaami' [166] dan Al-'Uqaili dalam Adh-Dhu'afa' [I/12]). Kedua kisah ini diceritakan oleh Al-Khatib dalam kitab Al-Jami', lalu beliau berkata, "Wajib bagi penuntut ilmu hadits untuk menghindari suka bermain, berbuat yang sia-sia dan bersikap rendah dalam majelis ilmu serta tertawa terbahak-bahak, banyak membuat lelucon, suka senantiasa bersenda gurau. Senda gurau itu hanya diperbolehkan kalau dilakukan kadang-kadang saja asal tidak sampai melanggar adab dan sopan santun dalam menuntut ilmu. Adapun kalau dilakukan secara terus-menerus, mengucapkan ucapan kotor, jorok, serta yang bisa menyakitkan hati, semua itu adalah perbuatan tercela. Sebab, banyak senda gurau dan tertawa akan menghilangkan kewibawaan dan harga diri." (Lihat Al-Jaami' oleh Al-Khathib [I/156]).

    Ada sebuah pepatah: "Barang siapa yang banyak melakukan sesuatu, maka dia akan dikenal dengannya." Jauhilah segala perusak ilmu ini, baik dalam majelis maupun dalam setiap pembicaraanmu. Namun, sebagian orang-orang dungu menyangka bahwa bersikap longgar dalam seperti ini adalah sebuah sikap toleransi.

    Dari Imam Al-Ahnaf bin Qais, ia berkata, "Jauhkanlah majelis kita dari menyebut-nyebut wanita dan makanan, saya benci seorang laki-laki yang suka membicarakan kemaluan dan perutnya." (Lihat Siyar A'laamin Nubalaa' [IV/94] dan Faidhul Qadir [I/537]).

    Hal ini karena akan bisa mengalihkan perhatian dari menuntut ilmu, semacam kalau berkata, "Tadi malam saya makan sampai kekenyangan." Atau, ucapan sejenis yang tidak ada gunanya sama sekali. Juga berbicara seputar urusan wanita, terlebih lagi kalau ada yang membicarakan hubungan suami istri yang dilakukannya, maka orang semacam ini adalah sejelek-jelek manusia pada hari kiamat dalam pandangan Allah Ta'ala.

    Umar bin Khaththab r.a. berkata dalam surat yang ditulisnya kepada Abu Musa al-Asy'ari tentang qadha': "Barang siapa yang menghiasi dirinya dengan sesuatu yang tidak dia miliki, maka Allah akan menampakkan keburukannya." (Riwayat Al-Baihaqi [21124], Daruquthni [IV/206], Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad [X/449], dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq [XXXII/71-72] dari Abu 'Awwam al-Bashri).

    Apa pun akhlak yang terdapat pada diri seseorang, meskipun dia sembunyikan dari manusia, pasti akan ketahuan juga. Bagaimanapun usaha manusia untuk menyembunyikannya, Allah pasti mengetahuinya dan akan membongkar kedok orang yang beramal tidak ikhlash untuk-Nya. Maka, jadikanlah ucapan Umar ini untuk menimbang seluruh aktivitasmu.

  8. Berhiaslah dengan Muru-ah (Kehormatan/Kesatriaan)
    Selalu berhias dengan muru-ah serta segala yang bisa membawamu kepada muru-ah dengan selalu berakhlak mulia, berwajah manis saat bertemu, menyebarkan salam, menolong orang lain, tegas tanpa sombong, gagah berani tanpa kediktatoran, bersikap kesatria tanpa harus fanatik golongan dan punya semangat yang menggelora tanpa harus seperti orang-orang jahiliah.

    Muru-ah adalah melakukan segala perbuatan yang bisa membuatnya terhormat serta menjahui segala perbuatan yang bisa merendahkan martabatnya. Hal ini bersifat umum. Bahwasannya segala sesuatu yang bisa membuatnya terhormat dalam pandangan orang lain serta membuat orang lain akan memujinya adalah sifat muru-ah meskipun bukan sebuah perkara ibadah, dan segala sesuatu yang merupakan kebalikan dari perbuatan tersebut berarti lawan dari muru-ah.

    Maka, hindarilah hal-hal yang dapat merusak kehormatan, baik dalam watak (perangai), perkataan, perbuatan, dan juga sikap yang rendah dan jelek lainnya seperti ujub (berbangga diri), riya, sombong, takabur, meremehkan orang lain, serta mengunjungi tempat-tempat yang kotor penuh meragukan.

  9. Bersikap Kesatria
    Milikilah sifat kesatria, berupa keberanian, tegas dalam mengatakan kebenaran, berakhlak mulia, berkorban demi kebaikan agar engkau disegani oleh orang lain, dan jauhilah sifat-sifat yang sebaliknya, berupa tidak tabah, tidak sabar, tidak bermoral. Karena, itu akan menghanurkan ilmu dan menyebabkan lisanmu tidak mau mengatakan sebuah kebenaran, yang berakibat pada pertikaian pada saat tersebarnya racun-racun di antara hamba Allah yang shaleh.

    Ada ungkapan yang indah dari seorang penyair, Al-Mutanabbi, "Barpikir harus didahulukan sebelum keberanian para kesatria. Yang pertama adalah berpikir dahulu, baru yang kedua mengambil sikap berani. Apabila kedua sifat ini ada pada seorang yang merdeka, maka akan bisa mencapai cita-cita yang tertinggi."

  10. Menjauhi Kemewahan
    Janganlah terus-menerus hanyut dalam kelezatan dan kemewahan, karena kesederhanaan termasuk sebagian dari iman dan ambillah wasiat dari Amirul Mukminin Umar bin Khaththab dalam suratnya yang masyhur, di dalamnya tertulis, "Jauhilah oleh kalian hanyut dalam kemewahan, dan senang berhias dengan mode orang asing, bersikaplah dewasa dan berpakaianlah secara sederhana (tidak mewah) ...." (Shahih riwayat Ibnu Hibban [5454], Abu 'Awanah [8514], Al-Baihaqi dalam Sunan al-KubraSyu'abul Iman [6186], Ahmad dalam Musnad [301], Abu Ya'la [213], dan Ibnul Ja'd dalam Musnad [995] dari hadits Abu Usman an-Nahdi).
    [X/14] dan dalam

    Oleh karena itu, hidarilah kepalsuan peradaban modern, karena itu watak (perangai) menjinakkan sikap dan mengendorkan otot serta mengikatmu dengan tali angan-angan. Orang-orang yang bersungguh-sungguh sudah dapat mencapai tujuan, namun engkau masih belum beranjak dari tempatmu, engkau hanya sibuk dengan penampilan pakaianmu. Anggaplah pakaian itu tidak haram juga tidak makruh, namun itu bukan ciri pakaian orang-orang shaleh. Penampilan luar semacam pakaian merupakan tanda kecenderungan hati seseorang, bahkan itulah jati diri yang sebenarnya. Bukankah pakaian sekadar salah satu cara untuk mengungkapkan siapa sebenarnya jati dirinya?

    Behari-hatilah dalam berpakaian, karena pakaian itu dapat mengungkapkan kepada orang lain mengenai jati diri Anda dalam hal kecenderungan, sikap, dan perasaan. Dari sini ada sebuah ungkapan: "Penampilan luar menunjukkan kecenderungan hati." Orang lain akan menggolongkanmu dari pakaianmu, bahkan cara engkau berpakaian pun akan memberikan gambaran bagi orang lain bahwa yang memakainya itu memiliki keteguhan dan kecerdasan ataukah ia orang yang ahli ibadah ataukah orang yang glamour dan suka popularitas. Berpakaianlah yang pantas bagimu, jangan membuat orang lain mencelamu, juga jangan membuat orang lain menggunjingmu. Jika pakaianmu serta caramu memakainya sesuai dengan keluhuran ilmu syar'i yang engkau miliki, niscaya itu semua akan lebih membuatmu mulia serta ilmumu lebih bermanfaat, bahkan jika engkau berniat yang baik, maka itu semua akan menjadi amal shaleh karena merupakan wasilah (perantara) untuk bisa memberi hidayah pada orang lain agar menerima kebenaran. Ada sebuah atsar dari Amirul Mukminin Umar bin Khaththab: "Saya lebih senang melihat pembaca Al-Qur'an itu berpakaian putih." (Diriwayatkan oleh Malik [1621]).

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengungkapkan bahwa manusia itu seperti sekumpulan burung terbang yang memiliki watak untuk saling menyerupai satu sama lainnya. Oleh karena itu, hidarilah pakaian kekanak-kanakan. Adapun mengenai pakaian orang-orang kafir, maka hukumnya tidak asing lagi bagimu.

  11. Menghindar dari Tempat-Tempat yang Sia-Sia
    Janganlah injakkan kakimu di tempat orang-orang yang bergelimang dengan kemungkaran serta merobek-robek tirai kesopanan dengan berpura-pura bodoh terhadap semua itu. Jika engkau melakukannya, maka dosamu pada ilmu dan ulama akan sangat besar.

    Allah SWT berfirman, "Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain ...." (An-Nisaa': 140).

    Barang siapa yang duduk di tempat yang ada kemungkarannya, maka wajib atasnya mencegah kemungkaran tersebut. Kalau keadaannya berubah menjadi baik, itulah yang diharapkan; jika tidak, dan bahkan mereka tetap terus-menerus melakukan kemungkarannya, maka wajib untuk menghindarinya. Bukan seperti yang dipikirkan oleh kebanyakan orang bahwa saya membenci kemungkaran itu dalam hati sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Maka jika engkau tidak mampu (mencegah kemungkaran dengan tangan dan lisan), maka cegahlah dengan hati." (HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban dari hadits Abu Sa'id al-Khudri r.a.). Katakan kepada orang semacam itu: "Seandainya benar engkau membencinya, pasti engkau tidak akan duduk bersama mereka, karena manusia tidak mungkin duduk bersama yang dibencinya, kecuali kalau terpaksa, adapun engkau duduk dengan suka hati, lalu engkau mengaku membencinya, maka pengakuan ini tidak mungkin benar."

  12. Hindari Hura-Hura
    Jagalah dirimu dari kegaduhan dan hiruk-pikuk, karena kesalahan sering kali disebabkan oleh hiruk-pikuk, dan ini dapat menafikan adab menuntut ilmu.

    Hiruk-pikuk yang dimaksud di sini adalah keramaian pasar. Hal itu sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits yang memperingatkan pergi ke pasar, karena dalam pasar terdapat keributan, cercaan, can makian. Ada sebagian penuntut ilmu yang berkata: "Saya duduk-duduk di pasar untuk melihat apa saja yang terjadi dan diperbuat orang-orang di sana." Kita katakan kepada orang semacam ini: "Ada perbedaan antara sekadar ingin tahu dengan kalau dilakukan terus-menerus." Maksudnya, seandainya disebutkan bahwa di pasar anu ada periwtiwa begini dan begitu, maka tidak mengapa engkau datang untuk mengetahuinya, namun kalau engkau selalu duduk-duduk di pasar setiap waktu, maka ini adalah sebuah kesalahan, karena bisa membuatmu hina, bahkan bisa juga merupakan penghinaan bagi ilmu itu sendiri.

  13. Bersikap Lemah Lembut
    Bersikaplah lemah lembut selau dalam bertutur kata, jauhilah ucapan yang kasar, karena ucapan yang lemah lembut akan mampu menjinakkan jiwa yang sedang berontak. Sangat banyak dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah mengenai hal ini.

    Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan pada semua perkara." (HR Bukhari dan Muslim).

    Juga, sabda beliau, "Tidaklah kelemahlembutan itu terdapat pada sesuatu kecuali akan mengiasinya, dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali akan merusaknya." (HR Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Hibban).

    Hanya saja, seharusnya seseorang dalam bersikap lemah lembut itu tanpa dibarengi dengan sifat lemah diri. Adapun kalau lemah lembutnya menjadikan dia dihina, pendapatnya tidak dipakai dan tidak diperhatikan, maka ini bertentangan dengan keharusan bersikap tegas. Oleh karena itu, harus lemah lembut pada saat butuh kelembutan dan harus tegas pada saat butuh ketegasan.

    Tidak ada satu pun yang paling penyayang dengan makhluk selain Allah Ta'ala sendiri, meskipun begitu, Dia berfirman, "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah ...." (An-Nuur: 2).

    Setiap keadaan menuntut kebijakan sikap masing-masing. Seandainya seseorang memperlakukan anaknya dengan lemah lembut terus-menerus sampai-sampai pada masalah yang butuh ketegasan, maka dia tidak akan mampu mendidiknya.

  14. Berpikir dan Merenung
    Hiasilah dirimu dengan selalu berpikir, karena orang yang berpikir akan bisa mengetahui. Ada sebuah ungkapan: "Berpikirlah, niscaya engkau akan tahu." Oleh karena itu, berpikirlah tatkala berbicara, dengan apa engkau berbicara? Apakah dampaknya? Berhati-hatilah dalam mengungkapkan kata dan menyampaikannya namun tanpa harus keterlaluan atau menampakkan kepandaian. Berhati-hatilah tatkala mengingatkan orang lain, bagaimana engkau memilih bahasa yang pas dengan yang engkau kehendaki, berpikirlah tatkala ada yang bertanya, bagaimana engkau berusaha memahami pertanyaan tersebut dengan sebenarnya, sehingga tidak akan mengandung dua kemungkinan. Dan begitu seterusnya.

    Para ulama dulu berkata, "Janganlah engkau letakkan kakimu kecuali mengetahui bahwa tempat itu selamat bagimu." Karena, bisa saja seseorang melangkah berjalan, namun jangan meletakkan kaki pada lubang duri atau batu, jangan letakkan kaki kecuali engkau tahu di mana harus diletakkan. Berpikir dan merenung ini penting, jangan tergesa-gesa kecuali kalau memang harus melakukannya.

  15. Teguh Pendirian dan Selektif Menerima Berita
    Hiasilah dirimu dengan teguh pendirian, serta mengecek kebenaran setiap kabar yang diterima, terutama pada saat-saat genting dan penting. Sikap ini mencakup sabar dan teguh dalam belajar dan melewatkan waktu-waktunya untuk belajar kepada para ulama, karena orang yang teguh (sabar) akan tumbuh menghsailkan yang dia inginkan.

Sumber: Diringkas dari Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, terj. Ahmad Sabiq, Lc (Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2005); judul asli: Syarah Hilyah Thaalibil 'Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin (Maktabah Nurul Huda, 2003).

Oleh: Abu Annisa