Minggu, April 13, 2008

nasehat yang baik bisa datang dari siapa saja

Sebuah nasehat yang baik bisa datang dari siapa saja, tidak harus dari ulama kondang atau tokoh kharismatik yang diidolakan oleh banyak orang. Terkadang, nasehat yang baik justru datang dari seorang manusia yang amat sederhana bahkan tidak dikenal oleh siapapun.

Inilah yang saya alami beberapa tahun lalu, ketika saya masih kuliah di Semarang. Pada sebuah liburan, saya bertandang ke rumah seorang teman di Bandung Selatan. Sebuah rumah yang sederhana, terletak di sebuah jalan setapak yang tidak terlalu luas.

Teman saya ini memiliki seorang ayah yang juga sederhana. Saya tidak tahu apa pekerjaan beliau. Tapi saat itu - saya masih ingat betul - dia mengenakan kaos oblong bercorak loreng-loreng. Sepertinya dia masih anggota TNI.

Dan dari ayah si teman inilah saya mendapatkan nasehat yang amat berharga tersebut.

Awalnya kami hanya berbincang akrab, ngobrol santai tentang banyak hal. Kejadian itu sudah berlangsung lebih dari sepuluh tahun lalu, jadi saya tak ingat apa saja yang kami perbincangkan (bahkan saya sudah tidak ingat siapa nama beliau). Hanya nasehat berharga itulah yang tetap saya ingat hingga hari ini.

Bapak yang sederhana itu berkata, “Di dunia ini kita bisa menemukan demikian banyak nilai (ajaran/kepercayaan) yang diyakini dan dianut oleh masyarakat. Tapi semua itu sebenarnya hanya terbagi dua. Ada nilai yang selalu berubah, ada juga nilai yang tak pernah berubah sampai kapan pun.”

Dia pun memberikan contoh tentang nilai-nilai yang terus berubah. “Di zaman dulu, para wanita berpakaian sangat sopan. Terbuka sedikit saja, langsung jadi bahan gunjingan. Kalau ada artis yang suka pamer aurat, langsung dijuluki Bom Sex. Tapi sekarang, tak ada lagi istilah Bom Sex karena hampir semua orang sudah biasa berpakaian serba terbuka.

Dalam hal pacaran pun begitu. Dulu pegangan tangan di tempat umum masih dianggap tabu. Tapi sekarang, berpelukan di depan umum pun sudah jadi hal biasa.

Itulah nilai-nilai budaya masyarakat. Ia akan terus berubah. Apa yang kita yakini hari ini belum tentu masih berlaku di masa depan.

Jadi, apakah kita harus menyandarkan hidup kita pada nilai-nilai yang tak pasti seperti itu? Tentu lebih baik kita menyandarkan hidup pada nilai-nilai yang sudah pasti, bukan?”

“Nilai apa yang Bapak maksud?” tanya saya.

“Nilai-nilai agama, tentu saja. Coba perhatikan. Sejak dulu, yang namanya aturan tentang aurat wanita selalu sama. Tak pernah berubah. Tak ada ceritanya, dulu wajib pakai jilbab tapi sekarang sudah tidak wajib. Sampai kapan pun ajaran dan nilai-nilai agama tak akan pernah berubah. Semuanya sudah pasti.”

Saya manggut-manggut, terkesima oleh ucapan yang amat cerdas itu.

* * *

Bapak yang sederhana ini sebenarnya hanya orang biasa. Dia bukan ustadz atau guru agama. Dari pengamatan saya selama satu hari berada di rumahnya, keluarganya pun sebenarnya hanya keluarga yang biasa-biasa saja. Kehidupan mereka lebih kurang sama dengan keluarga masyarakat Indonesia pada umumnya.

Tapi hari itu, dari mulut beliau saya mendengarkan sebuah nasehat yang amat berharga. Nasehat yang belum pernah saya dengarkan sebelumnya. Bahkan hingga hari ini, saya belum pernah mendengarkan nasehat yang sama dari orang lain. Nasehat itu benar-benar unik, berkesan, dan membekas di hati dan pikiran saya hingga hari ini.

Dan perjalanan waktu pun membawa saya pada kesimpulan bahwa nasehat Bapak yang sederhana itu adalah sebuah kebenaran yang amat nyata. Saya teringat pada kasus RUU APP yang marak dibicarakan di Indonesia beberapa waktu lalu. Saat itu, banyak orang yang berdebat mengenai “definisi pornografi”. Banyak orang yang berkata bahwa porno itu sangat relatif, tergantung orangnya, dan seterusnya.

Padahal, jika mereka mau melirik aturan agama, khususnya Islam, semuanya sangat jelas. Aturan dan definisi mengenai pornografi, aurat, dan sejenisnya, semuanya telah tertulis dengan amat tegas, jelas, dan pasti. Kalaupun ada perbedaan, itu hanya masalah khilafiah yang tak perlu dipertentangkan. Yang penting saling menghargai.

* * *

Hingga hari ini, nasehat Bapak yang sederhana itu masih saya jadikan salah satu prinsip utama di dalam hidup saya. Semoga, prinsip ini tetap saya pegang dan amalkan di sepanjang hidup saya.

Saya juga tak pernah berhenti berharap, semoga pahala demi pahala terus mengalir kepada beliau, karena dia telah menularkan sebuah nasehat yang benar-benar tak terlupakan.

Jakarta, 31 Oktober 2006
Jonru

Tidak ada komentar: